Mikulnews.com – Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas. Pemerintah China baru-baru ini memberlakukan tarif balasan tambahan sebesar 50% terhadap produk asal AS. Kebijakan ini membuat total tarif impor produk AS yang masuk ke China melonjak hingga 84%, dari sebelumnya 34%. Langkah ini merupakan respons langsung atas keputusan Presiden AS Donald Trump yang menaikkan tarif impor terhadap produk China hingga 140%.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada dua negara adidaya tersebut, tetapi juga menyebar ke negara-negara mitra dagang mereka, termasuk Indonesia. Peningkatan tensi perdagangan global ini menjadi sinyal peringatan serius bagi perekonomian nasional.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa Indonesia bisa terdampak dari dua arah sekaligus. Di satu sisi, ekspor ke AS akan terhambat akibat perlambatan perdagangan. Di sisi lain, perlambatan ekonomi China yang menjadi mitra dagang utama Indonesia juga akan memberi tekanan tambahan.
“Pasar ekspor kita akan terkena imbas. Kalau ekonomi China menurun, permintaan mereka juga turun. Kita akan terdampak dari sisi itu. Sementara ke AS juga sudah pasti melemah,” ujarnya.
Tauhid menambahkan bahwa gejolak ini berpotensi menekan harga komoditas global. Mengingat pendapatan negara Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti minyak, gas, kelapa sawit (CPO), dan nikel, penurunan harga dapat langsung memengaruhi penerimaan negara, khususnya dari sektor PNBP.
“Permintaan yang menurun karena perang dagang ini telah mulai mendorong turunnya harga komoditas. Akibatnya, penerimaan negara dari sektor tersebut akan menurun,” jelasnya.
Selain sektor perdagangan dan penerimaan negara, pasar modal Indonesia juga diprediksi akan terguncang. Tauhid menyebut bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi kembali melemah dalam waktu dekat.
“Jika ekonomi global melemah, pasar saham juga akan ikut terkoreksi. IHSG kemungkinan bisa turun di bawah angka 6.000,” tambahnya.
Dampak lain yang tak kalah signifikan adalah terhadap sektor pariwisata. Ketidakpastian global dan tekanan terhadap daya beli masyarakat dunia bisa menyebabkan penurunan minat bepergian, termasuk ke Indonesia.
“Sektor jasa, terutama pariwisata, juga akan terganggu akibat kondisi ini,” tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina, Samirin Wijayanto, melihat perang dagang ini sebagai sinyal krisis berkepanjangan yang mengancam stabilitas global. Menurutnya, Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis guna meredam dampaknya.
“Indonesia harus memperkuat ekonomi dalam negeri dan menjalin kerja sama yang lebih intensif dengan negara-negara lain. Selain pendekatan strategis ke AS, kita harus manfaatkan peluang kolaborasi dengan mitra lain yang memiliki kesamaan kepentingan,” ujarnya.
Perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia ini bukan hanya soal tarif dan angka ekspor-impor. Lebih dari itu, dampaknya menjalar luas ke berbagai sektor dan negara, termasuk Indonesia, yang harus bersiap menghadapi tantangan baru dalam dinamika ekonomi global yang terus berubah.