Site icon InformasiBerita

Hasto Kristiyanto Dituntut 7 Tahun Penjara Kronologi dan Implikasi

Hasto Kristiyanto

Mikulnews.com – Kasus hukum yang menjerat Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menjadi perbincangan nasional setelah jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntutnya dengan hukuman 7 tahun penjara.

Tuduhan yang dilayangkan berkaitan dengan dugaan menghalangi penyidikan kasus suap yang melibatkan Harun Masiku, serta keterlibatannya dalam pemberian suap pada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

Persidangan ini bukan hanya memiliki dampak signifikan pada perjalanan hukum Hasto, tetapi juga menyoroti tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama ketika aktor politik besar terlibat.

Artikel ini akan mendalami kronologi kasus, rincian dakwaan, hal yang memberatkan dan meringankan, hingga respons Hasto Kristiyanto selama proses persidangan.

Kronologi Kasus dan Keterlibatan Hasto Kristiyanto

Kasus ini bermula dari dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku, seorang politikus PDIP yang hingga kini masih buron.

Dalam persidangan terungkap, Hasto Kristiyanto diduga aktif menghalangi upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangkap Harun Masiku pada operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung 8 Januari 2020.

Tindakan yang dilakukan Hasto antara lain memberi instruksi kepada Harun untuk tetap berada di kantor DPP PDIP supaya tak terlacak, juga perintah merendam atau menenggelamkan ponsel agar komunikasi sulit diakses KPK.

Tidak hanya itu, ia juga diduga memerintahkan bawahannya melakukan tindakan serupa menjelang pemeriksaan oleh lembaga antirasuah, sehingga, hingga saat ini, Harun Masiku masih menjadi buronan.

Rincian Dakwaan dan Pasal yang Dikenakan

Jaksa penuntut umum menilai Hasto Kristiyanto terbukti melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait perintangan proses hukum, serta Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 13 UU Tipikor tentang pemberian suap.

Selain tuntutan 7 tahun penjara, ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 600 juta, dengan subsider enam bulan penjara jika denda tidak dibayar.

Dalam dakwaan, Hasto tidak hanya disebut merintangi penyidikan, melainkan turut serta secara aktif bersama Harun Masiku, Donny Tri Istiqomah, dan Saeful Bahri dalam memberikan suap kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dengan nilai total mencapai ratusan juta rupiah yang berkaitan erat dengan proses PAW anggota legislatif.

Hal yang Memberatkan dan Meringankan dalam Tuntutan

Di dalam tuntutannya, jaksa menyoroti beberapa aspek yang memberatkan, seperti sikap Hasto yang dinilai tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan tidak mengakui kesalahan selama proses persidangan.

Keengganan untuk bekerja sama dan tetap bersikukuh pada pembelaan diri dinilai sebagai faktor penghambat dalam penegakan hukum.

Namun demikian, jaksa juga mempertimbangkan aspek meringankan, salah satunya adalah bahwa Hasto belum pernah dihukum, bersikap sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan keluarga.

Unsur-unsur ini menjadi pertimbangan agar tuntutan yang diberikan tetap berjalan dalam koridor keadilan, meskipun bobot pelanggaran yang dilakukan tetap dianggap serius dalam konteks integritas pejabat negara.

Respons Hasto Kristiyanto dan Dampak Politik

Hasto Kristiyanto menegaskan dirinya tetap percaya diri menghadapi sidang tuntutan, dengan alasan adanya kejanggalan dari proses hukum yang ditempuh terhadapnya.

Ia meyakini fakta persidangan tidak membuktikan keterlibatannya sebagaimana yang didakwakan, bahkan menyebut adanya upaya hukum yang dipaksakan.

Sikap ini menegaskan betapa kompleksnya kasus yang melibatkan aktor politik besar seperti Hasto, apalagi ketika proses hukum bersinggungan dengan politik internal dan eksternal partai.

Implikasi politik kasus ini juga membuat publik menyoroti PDIP sebagai partai besar dan reformasi tata kelola internal mereka, sekaligus kembali menjadi ujian atas komitmen partai politik terhadap nilai-nilai antikorupsi.

Kasus Hasto Kristiyanto menjadi bukti rumitnya pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama jika menyangkut tokoh politik sentral dan partai besar.

Tuduhan yang melingkupi tindakan merintangi penyidikan serta pemberian suap, dengan tuntutan 7 tahun penjara dan denda besar, memberi sinyal seriusnya persoalan integritas di level elit politik.

Meski demikian, proses sidang juga memperlihatkan pentingnya prinsip keadilan — dengan mempertimbangkan aspek memberatkan dan meringankan.

Kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum evaluasi sistem perlindungan hukum, membangun trust publik terhadap institusi negara, serta mengingatkan partai politik akan pentingnya komitmen tegas terhadap pemberantasan korupsi demi demokrasi yang sehat.

Author

Exit mobile version