Kasus dugaan korupsi dana Participating Interest (PI) 10 persen di tubuh PT Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPRH) mengguncang Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Afrizal Sintong, mantan Bupati Rohil, menjalani pemeriksaan intensif oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau pada Senin, 21 Juli 2025.
Pemeriksaan tersebut menyorot pengelolaan dana lebih dari Rp551 miliar yang diduga kuat tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
Selama kurang lebih empat jam, Afrizal menjawab sekitar 20 pertanyaan terkait aliran dana PI—sebuah peristiwa yang menjadi sorotan publik dan memunculkan pertanyaan besar terkait tata kelola keuangan daerah serta transparansi pejabat publik di daerah. Mengapa kasus ini mengemuka dan apa arti pentingnya bagi integritas pemerintahan daerah di Indonesia?
Jejak Pemeriksaan: Afrizal Sintong dan Rentetan Pertanyaan Jaksa
Pemeriksaan terhadap Afrizal Sintong menandai babak baru penyelidikan kasus dugaan korupsi dana PI 10 persen yang diterima PT SPRH dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).
Afrizal hadir di Kantor Kejati Riau sekitar pukul 10.00 WIB dengan memakai kemeja putih dan topi. Ia keluar gedung sekitar pukul 17.00 WIB setelah dicecar sekitar 20 pertanyaan oleh tim penyidik Pidana Khusus.
Dalam keterangannya kepada pers, Afrizal menekankan bahwa dirinya diperiksa sebagai saksi, bukan tersangka. Pertanyaan yang diajukan seputar aliran dana PI di PT SPRH, meski ia enggan merinci detail materinya. Penting dicatat, Afrizal membantah keras tudingan penggunaan dana tersebut untuk kepentingan politik pribadi, khususnya dalam konteks Pilkada Rohil.
Skandal Dana Participating Interest: Konteks dan Kronologi Kasus
Kasus dugaan korupsi ini bermula dari dugaan penyelewengan pengelolaan dana Participating Interest (PI) sebesar Rp551.473.883.895—bagian dari 10 persen PI yang diperoleh PT SPRH dari PHR.
Dana yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan daerah tersebut diduga tidak dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kejati Riau memperkuat status hukum kasus ini dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-06/L.4/Fd.1/06/2025 tanggal 11 Juni 2025, meningkatkan kasus dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.
Kuasa hukum, direksi, komisaris, hingga bendahara PT SPRH turut dimintai keterangan, sedangkan sejumlah dokumen strategis dan elektronik disita dari kantor dan kediaman para pejabat terkait.
Respon, Bantahan, dan Implikasi Politik Bagi Afrizal Sintong
Afrizal Sintong, dalam kesempatan terpisah, berulang kali mengelak dikaitkan dengan skenario penggunaan dana untuk kepentingan pribadi, terutama terkait pencalonannya kembali pada Pilkada Rohil.
Tuduhan tersebut mengemuka seiring polemik publik mengenai praktik good governance dan transparansi pejabat publik di daerah. Pemeriksaan ini merupakan kali pertama bagi Afrizal dalam status saksi, tetapi berpotensi berkembang seiring hasil penyidikan.
Sikap tegas Kejati Riau yang terus menelusuri keterlibatan berbagai pihak menandai komitmen hukum dalam upaya menuntaskan kasus korupsi, yang selama ini kerap membelenggu optimalisasi manfaat ekonomi sumber daya alam bagi masyarakat setempat.
Penyidikan Berlanjut: Perkembangan Terbaru dan Prospek Penegakan Hukum
Selain Afrizal Sintong, Kejati Riau turut memeriksa Rahmat Hidayat (Plt Direktur Utama PT SPRH) dan Tiswarni (Komisaris PT SPRH) sebagai saksi penting. Sementara itu, Zulkifli, Penasihat Hukum PT SPRH, kembali absen setelah tiga kali tidak memenuhi panggilan.
Penyelidikan tidak hanya sebatas pemeriksaan saksi, tetapi juga upaya penggeledahan dan penyitaan dokumen, menandai keseriusan investigasi.
Kasi Penkum Kejati Riau, Zikrullah, menyatakan bahwa identifikasi tersangka bakal segera dilakukan berdasar bukti dan hasil penyidikan lebih lanjut. Konstelasi kasus ini memiliki konsekuensi jangka panjang, tidak hanya bagi individu yang diperiksa tetapi juga bagi praktik tata kelola keuangan daerah serta kepercayaan publik terhadap BUMD dan pejabat daerah.
Kasus pemeriksaan Afrizal Sintong sebagai saksi dugaan korupsi dana PI 10 persen di PT SPRH menjadi cermin dinamika pertarungan antara integritas birokrasi dan praktik penyimpangan di level pemerintahan daerah.
Dengan jumlah dana yang sangat besar, transparansi tata kelola dan penegakan hukum menjadi tuntutan mutlak masyarakat.
Jalannya penyidikan yang transparan dan akuntabel akan menentukan apakah Kabupaten Rokan Hilir dapat keluar dari bayang-bayang kasus ini dengan memperkuat kepercayaan masyarakat atau justru memperdalam krisis kepercayaan terhadap pejabat publik.
Pada akhirnya, independensi aparat penegak hukum dan dorongan masyarakat menjadi faktor penentu dalam membongkar secara tuntas siapa saja yang bertanggung jawab serta memastikan dana hasil sumber daya alam betul-betul digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir elit.