Isu dugaan keterlibatan Partai Demokrat dalam polemik ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke permukaan politik nasional, memantik perdebatan publik sejak akhir Juli 2025.
Berbagai tokoh penting Demokrat, mulai dari juru bicara Herzaky Mahendra hingga Ketua Fraksi Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), serempak membantah tudingan bahwa partai berlambang bintang mercy ini—yang kerap disebut “partai biru”—menjadi dalang di balik isu ijazah Jokowi.
Klarifikasi resmi ini muncul sebagai respons atas gelombang narasi publik yang berpotensi menyesatkan, memperkeruh suasana politik, dan mengancam harmoni antar-elite nasional.
Mengapa isu “Demokrat ijazah Jokowi” dengan mudah mencuri perhatian, dan bagaimana dampak luasnya terhadap mekanisme demokrasi di Indonesia? Berikut analisis mendalamnya.
Asal Mula Tuduhan dan Respons Tegas Demokrat
Munculnya narasi yang mengkaitkan Demokrat dengan isu ijazah Jokowi berawal dari pernyataan Presiden Jokowi tentang adanya “orang besar” yang diduga menggerakkan berbagai isu, termasuk soal keaslian ijazah dan wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Isu ini dengan cepat merembet ke ranah media sosial, di mana partai biru secara insinuatif diarahkan kepada Partai Demokrat.
Namun, Herzaky Mahendra Mahendra, selaku juru bicara, menegaskan bahwa tudingan tersebut merupakan fitnah tak berdasar dan bentuk pencemaran nama baik. Begitu juga Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang menyebut tuduhan itu sebagai “fitnah keji” sarat agenda politik kotor. Demokrat menolak keras segala upaya mengaitkan mereka dengan isu personal Presiden, karena sama sekali tidak relevan dengan misi partai atau sepak terjang politiknya.
Roy Suryo dan Independensi Sikap Demokrat
Sosok Roy Suryo, yang diketahui secara aktif melempar opini seputar dugaan ijazah palsu Jokowi, menjadi titik kritis dalam perkembangan isu.
Petinggi Demokrat menegaskan, Roy Suryo tidak lagi menjadi kader partai sejak 2019, sehingga segala pernyataannya bersifat pribadi dan bukan representasi institusi. Klarifikasi ini penting untuk menegaskan jarak antara sikap Demokrat dengan narasi yang dibangun Roy Suryo.
Selain bertujuan meredam kekacauan opini di masyarakat, langkah tersebut juga menjadi strategi menjaga soliditas internal partai—terlepas dari manuver individu yang berseberangan pandangan.
Konteks Hubungan Demokrat–Jokowi: Harmoni atau Friksi?
Isu Demokrat ijazah Jokowi turut melibatkan narasi yang mencoba mengadudomba antara keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi. Herzaky mencatat beberapa momen harmonis: kehadiran Gibran dan Kaesang di Kongres Demokrat, hingga kunjungan langsung Wapres Gibran saat SBY dirawat.
Relasi ini, menurut Demokrat, mematahkan tudingan adanya motif permusuhan atau konspirasi di balik isu ijazah. Petinggi partai juga memandang bahwa upaya mempolitisasi “perbedaan” ini tidak hanya tidak etis, melainkan juga merusak ruang publik serta mencederai filosofi demokrasi yang sehat.
Manuver Politik dan Potensi Dampak terhadap Demokrasi
Pencampuran isu personal dengan identitas partai merupakan praktik political maneuvering yang lazim terjadi di tahun-tahun politik penting.
Frederik Kalalembang, Kepala Departemen Politik dan Keamanan DPP Demokrat, menggarisbawahi bahwa narasi Demokrat terlibat dalam isu ijazah hanyalah pengalihan isu yang berpotensi mendistorsi fokus perjuangan partai untuk rakyat.
Ia menegaskan, manuver politik tak sehat harus segera dihentikan demi menghindari fragmentasi sosial dan potensi konflik antarpendukung. Hal ini sekaligus mengingatkan pentingnya literasi politik masyarakat agar tidak mudah terprovokasi opini tanpa dasar yang justru melemahkan kualitas diskursus publik.
Kontroversi “Demokrat ijazah Jokowi” menyoroti betapa rentannya ranah politik tanah air terhadap narasi insinuatif dan politisasi isu pribadi.
Klarifikasi terbuka dari para elite Demokrat memperkuat pentingnya fakta dan transparansi di tengah dinamisnya spekulasi politik.
Selain menegaskan posisi partai di luar arus kontroversi tersebut, manuver ini juga mengingatkan masyarakat untuk selalu kritis dan tidak larut dalam saling curiga yang mengancam kohesi nasional.
Di tengah tantangan demokrasi yang kian kompleks, konsistensi pada etika politik dan ketegasan menghadapi hoaks adalah prasyarat utama agar perdebatan politik tetap berada dalam koridor maslahat publik, bukan sekadar kepentingan sesaat. Ke depan, penguatan peran partai sebagai pilar pencerah dan pemersatu bangsa menjadi semakin krusial untuk menjaga kualitas demokrasi Indonesia.

