Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus resmi menetapkan delapan tersangka kasus Sritex terkait dugaan korupsi pemberian kredit dari sejumlah bank daerah dan pemerintah kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Penetapan tersangka dilakukan di Jakarta pada Senin, 21 Juli 2025.
Para tersangka terdiri dari jajaran direktur utama dan direksi bank, serta petinggi Sritex, yang diduga terlibat dalam manipulasi pengajuan kredit hingga pencairan dana tidak sesuai peruntukan. Skandal ini menyebabkan kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp1 triliun, menjadi salah satu kasus korupsi perbankan terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Penanganan serta penyidikan yang intensif kini menjadi sorotan publik, menyoroti tata kelola, pengawasan kredit perbankan, dan integritas eksekutif korporasi di sektor industri tekstil nasional.
Rincian Penetapan Tersangka dan Peran Masing-Masing dalam Kasus Sritex
Tersangka kasus Sritex tak hanya berasal dari manajemen Sritex, tetapi juga melibatkan pejabat tinggi dari beberapa bank besar daerah. Delapan tersangka terbaru terdiri dari direktur keuangan Sritex Allan Moran Severino, sejumlah direktur dan pimpinan komite kredit bank, hingga pejabat utama perbankan seperti Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020, Zainuddin Mappa, dan pemimpin divisi korporasi PT Bank BJB tahun 2020, Dicky Syahbandinata.
Sementara itu, Iwan Setiawan Lukminto, pemilik sekaligus mantan Direktur Utama Sritex periode 2005–2022, menjadi fokus utama atas dugaan penyalahgunaan dana pinjaman. Kejaksaan juga langsung melakukan penahanan terhadap sebagian besar tersangka, kecuali satu yang mendapat penangguhan karena alasan kesehatan—menandakan keseriusan penegakan hukum dalam menindak pelaku di seluruh lapisan.
Modus Operandi: Kredit Fiktif dan Penyalahgunaan Dana Perusahaan
Penyidikan mengungkap bahwa proses pengajuan kredit dilakukan dengan berbagai pelanggaran prosedur, mulai dari penggunaan invoice fiktif sebagai dasar pencairan dana hingga penggunaan dana kredit untuk membayar utang jatuh tempo, bukan digunakan sesuai akad untuk modal kerja.
Dalam salah satu contoh, dana yang didapatkan Sritex dari Bank DKI dialihkan untuk melunasi medium term note (MTN) perusahaan, bukan untuk mendukung operasional sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian kredit.
Praktik ini berulang dan melibatkan persetujuan tanpa uji tuntas dari komite kredit maupun pejabat terkait bank, sehingga menyebabkan kredit macet hingga triliunan rupiah. Fakta ini menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal perbankan serta praktik tata kelola yang rawan kolusi antara nasabah korporasi besar dan pengambil keputusan di bank.
Dampak Ekonomi: Kerugian Negara dan Krisis Kepercayaan Publik
Akibat rangkaian pelanggaran tersebut, negara diperkirakan menderita kerugian hingga Rp1,08 triliun, berdasarkan penghitungan dari kerugian kredit di tiga bank utama: Bank Jateng, Bank BJB, dan Bank DKI. Kerugian masif ini tidak hanya berdampak secara langsung pada keuangan negara, tetapi juga memperburuk kepercayaan terhadap stabilitas institusi perbankan nasional.
Temuan Kejaksaan Agung yang masih didalami juga menyebutkan adanya dugaan penyelewengan dana kredit yang jumlahnya bahkan bisa melampaui hasil penghitungan sementara, mengingat total kredit macet dari dua bank saja nyaris menyentuh angka Rp3 triliun. Skandal ini menjadi preseden buruk bagi tata kelola penyaluran kredit besar-besaran, terutama kepada perusahaan swasta yang berperan vital dalam sektor industri nasional seperti Sritex.
Langkah Hukum dan Upaya Pencegahan Kasus Serupa
Para tersangka kasus Sritex dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam hukuman berat atas praktik korupsi berskala besar. Kejaksaan Agung juga melakukan penyitaan aset bernilai tinggi, termasuk 72 unit mobil, sebagai bagian dari upaya pengembalian kerugian negara.
Selain tindakan represif, kasus ini mendorong urgensi reformasi pada sistem tata kelola bank, audit internal yang lebih komprehensif, serta penguatan sistem pengawasan pada penyaluran kredit bernilai besar. Penyidik juga sedang melacak aliran dana dan penggunaan kredit oleh pihak Sritex, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak lain di luar manajemen utama yang dapat diperluas jika ditemukan bukti baru.
Kasus tersangka kasus Sritex menjadi peringatan keras atas bahaya kolusi dan lemahnya kontrol dalam pengelolaan pinjaman korporasi di Indonesia. Mewabahnya kredit macet akibat penyimpangan prosedur tidak hanya memicu kerugian negara, tetapi juga merusak sendi kepercayaan publik terhadap dunia usaha dan institusi perbankan.
Seiring dengan proses hukum yang intensif, sektor perbankan dan korporasi besar kini dituntut untuk menerapkan tata kelola lebih transparan, akuntabel, serta memastikan integritas dalam setiap lini pengambilan keputusan. Perkembangan penyidikan dan pengadilan kasus ini akan menjadi barometer bagi penegakan hukum kejahatan keuangan di tanah air, sekaligus menguji komitmen reformasi tata kelola korporasi dan keuangan nasional ke depan.

