Maluku Utara — Wacana pemekaran wilayah Sofifi menjadi daerah otonomi baru (DOB) kembali mencuat setelah Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menyatakan komitmennya untuk melobi pemerintah pusat pada Senin (28/7/2025). Pernyataan itu disampaikan di tengah desakan warga terhadap peningkatan layanan dasar dan infrastruktur di ibu kota provinsi tersebut.
Sofifi, yang telah berstatus sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara sejak dua dekade lalu, secara administratif masih berada di bawah Kota Tidore Kepulauan. Kondisi ini memicu ketimpangan pelayanan publik. Infrastruktur seperti pasar, layanan kesehatan, air bersih, hingga jaringan telekomunikasi dinilai belum memadai.
“Kami akan terus perjuangkan status administratif Sofifi. Ibu kota provinsi harus mendapatkan perhatian yang setara dengan fungsinya,” ujar Gubernur Sherly dalam pernyataan resminya di Kantor Gubernur Malut, Sofifi.
Aspirasi Masyarakat Terbelah
Usulan pemekaran mendapat respons beragam. Sejumlah warga dan anggota DPRD menyatakan dukungan terhadap pembentukan DOB Sofifi melalui petisi dan aksi politik. Mereka menilai pemekaran akan mempercepat pembangunan dan memperkuat otonomi wilayah.
Namun, sebagian masyarakat dan tokoh adat menolak. Kesultanan Tidore, ASN, serta sejumlah kelompok masyarakat sipil menyatakan kekhawatiran bahwa pemekaran justru dapat mengganggu identitas budaya serta melemahkan kontrol masyarakat lokal atas wilayahnya.
Aksi penolakan bahkan terjadi di beberapa titik, termasuk unjuk rasa di kantor gubernur dan pernyataan resmi dari Kesultanan Tidore yang meminta pemerintah pusat mempertimbangkan aspek sosial dan kultural dalam pengambilan keputusan.
Sorotan Terhadap Kepentingan Ekonomi
Selain aspek pelayanan publik, wacana pemekaran Sofifi juga disorot dari sisi potensi kepentingan ekonomi. Beberapa pengamat menilai adanya hubungan antara dorongan DOB dan ekspansi investasi pertambangan, khususnya nikel, yang berkembang pesat di wilayah Maluku Utara.
Gubernur Sherly disebut-sebut memiliki keterkaitan bisnis dengan sejumlah perusahaan tambang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran konflik kepentingan apabila pemekaran memberi ruang bagi relaksasi kebijakan pertambangan atau perubahan tata ruang wilayah.
“Kebijakan pemekaran harus dilandasi kebutuhan masyarakat, bukan kepentingan elite,” ujar Ahmad Syafei, peneliti tata kelola daerah dari Universitas Khairun Ternate.
Pemerintah Pusat Diminta Transparan
Aktivis dan akademisi menyerukan agar proses pengajuan DOB dilakukan secara terbuka dengan melibatkan semua pihak, termasuk tokoh adat, masyarakat sipil, dan lembaga pengawasan. Mereka juga meminta audit terhadap potensi konflik kepentingan di balik wacana ini.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007, pembentukan DOB harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan kewilayahan serta mendapat persetujuan DPR dan kementerian terkait.
Penataan Sofifi Masih Menunggu Kepastian
Hingga kini, belum ada keputusan resmi dari pemerintah pusat terkait status baru Sofifi. Sementara itu, masyarakat terus mendorong perbaikan infrastruktur dan pelayanan, terlepas dari status administratif wilayah tersebut.
Polemik pemekaran Sofifi menunjukkan bahwa isu otonomi daerah tidak hanya berkaitan dengan pembagian kewenangan, tetapi juga menyentuh soal kepercayaan publik, tata kelola pemerintahan, dan kepentingan jangka panjang masyarakat lokal.