Eks anggota Korps Marinir TNI AL, Satria Arta, kembali menjadi sorotan publik setelah menyampaikan permohonan maaf dan keinginan untuk pulang ke Indonesia, meskipun saat ini masih aktif sebagai tentara bayaran di Rusia yang terlibat dalam konflik bersenjata di Ukraina. Kasus ini memunculkan polemik luas terkait hukum, etika militer, dan isu kewarganegaraan yang menyita perhatian berbagai kalangan.
Latar Belakang Satria Arta: Dari Prajurit Teladan hingga Desersi
Satria Arta Kumbara pernah menjabat sebagai anggota Korps Marinir TNI Angkatan Laut dan berpangkat terakhir Sersan Dua (Serda), berdinas di Inspektorat Korps Marinir (Itkormar), Cilandak, Jakarta Selatan. Dengan Nomor Registrasi Pokok 111026, awalnya Satria dikenal sebagai prajurit disiplin. Namun, pada 13 Juni 2022, ia melakukan desersi—meninggalkan tugas dinas tanpa izin. Implikasinya sangat berat: Satria dipecat secara tidak hormat melalui putusan Pengadilan Militer No. 56-K/PM.II-08/AL/IV/2023, dan dihukum in absentia satu tahun penjara. Tindakan Satria otomatis memutus semua hak serta perlindungan militer, membawanya pada kehampaan identitas hukum dan sosial—kondisi yang tidak hanya berdampak pada karier pribadi, namun juga menodai integritas Sapta Marga TNI sebagai institusi.
Transformasi Eks Marinir Satria Arta Menjadi Tentara Bayaran Rusia
Pasca-pemberhentian, Satria membuat keputusan kontroversial: hijrah ke Rusia untuk menjadi tentara bayaran—aktif bertugas di garis depan konflik Ukraina-Rusia. Ia mengaku langkah ini semata-mata dilandasi alasan ekonomi, bukan pengkhianatan. Dalam video yang viral di TikTok @zstorm689, Satria menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Prabowo, Wapres Gibran, dan Menlu Sugiono, sekaligus mengutarakan penyesalannya menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia. Akibat tindakan itu, secara hukum ia kehilangan status kewarganegaraan Indonesia sesuai UU No.12 Tahun 2006 Pasal 23, yang secara tegas melarang warga negara bergabung dengan militer asing. Satria bahkan menegaskan bahwa ia tidak pernah berniat meninggalkan tanah air atau memperdagangkan nasionalismenya, namun tekanan ekonomi yang memaksa.
Dampak Hukum dan Etika: Kasus Satria Arta dalam Kacamata Indonesia
Kasus eks marinir Satria Arta menguak celah dalam sistem penegakan hukum serta kode etik militer di Indonesia. Pejabat legislatif seperti Andreas Hugo Pareira dan TB Hasanuddin menyoroti tindakan Satria sebagai pelanggaran berat; menyalahi Sapta Marga, Undang-Undang Kewarganegaraan, hingga etika militer internasional. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kemenkumham hingga kini terus memantau serta berkomunikasi dengan Satria via KBRI Moskow—meski belum ada keputusan terkait pemulangan maupun status hukum Satria apabila kembali ke tanah air. Kasus ini memperlihatkan pentingnya pengawasan terhadap lulusan militer yang rentan “disusupi” kepentingan asing, sekaligus menjadi alarm bagi perlunya perbaikan sistem perlindungan terhadap eks prajurit yang terdampak masalah kesejahteraan.
Dilema Kemanusiaan dan Nasionalisme: Pesan Satria dan Respons Masyarakat
Di balik pusaran masalah hukum dan politik, suara hati Satria menyentuh sisi kemanusiaan yang lekat dengan kerinduan akan tanah air dan keluarga. Dalam video yang penuh emosi, Satria berulang kali menyebut keinginannya untuk kembali ke Indonesia, menegaskan bahwa “kewarganegaraan Republik Indonesia bagi saya segala-galanya.” Ia menyesali tiap langkah yang diambil, berharap agar kontrak militer dengan Rusia bisa diputus demi mendapatkan kembali identitas WNI. Momen kontras antara dirinya dalam seragam TNI dan kini memakai seragam militer Rusia jadi simbol dualitas antara nasionalisme dan realita kebutuhan hidup di negeri asing. Respons warganet muncul beragam—mulai dari simpati, kritik, hingga diskusi hangat soal hak, pengampunan, dan rasa kemanusiaan dalam kerangka hukum nasional.
Konteks Global: Fenomena Tentara Bayaran & Tantangan Era Modern
Kasus eks marinir Satria Arta bukanlah fenomena terisolasi. Di era globalisasi, mobilitas individu lintas negara, kontrak militer swasta, hingga konflik regional menciptakan peluang—dan bahaya—bagi mantan prajurit profesional untuk dilibatkan dalam perang sebagai tentara bayaran. Indonesia, dengan sejarah panjang militernya, menghadapi tantangan serius dalam menjaga eksklusivitas dan loyalitas anggotanya. Satria membuktikan bahwa tekanan ekonomi bisa mendorong individu melangkah jauh dari batas nasionalisme. Di sisi lain, kasus ini membuka diskusi penting tentang perlindungan hukum, reintegrasi sosial, serta pendidikan kewarganegaraan dalam menghadapi realitas global yang makin kompleks.
Perjalanan Satria Arta mencerminkan kompleksitas hubungan antara nasionalisme, tekanan hidup, dan tanggung jawab hukum. Pemerintah Indonesia kini menghadapi dilema dalam menentukan langkah hukum maupun kemanusiaan terhadap mantan prajurit yang telah kehilangan status kewarganegaraannya. Kasus ini dapat menjadi preseden penting dalam membentuk kebijakan strategis untuk menghadapi tantangan serupa di masa mendatang.