JAKARTA, MikulNews — Dengan 79 persen wilayah Indonesia, mencakup 476 dari 514 kabupaten/kota, kini telah bebas malaria, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menargetkan eliminasi total penyakit ini pada tahun 2030. Kendati demikian, tren kasus malaria menunjukkan peningkatan hingga tahun 2025, sebuah fenomena yang sebagian besar disebabkan oleh upaya penemuan kasus yang lebih intensif di daerah-daerah yang masih terdampak, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Kalimantan Timur.
Pada tahun 2024, data Kemenkes mencatat 543.965 kasus malaria, sebuah lonjakan dari 418 ribu kasus pada 2023 dan 440 ribu kasus pada 2022. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina Isturini, mengemukakan, “Dari 543 ribu kasus malaria ini, sekitar 93 persen atau 498 ribu kasus malaria berasal dari tanah Papua.” Ia menambahkan, “Meski angkanya sangat tinggi, tetapi masih sangat jauh yang diperkirakan WHO yakni 1,1 juta kasus,” sebagaimana disampaikannya pada temu media daring dalam rangka Hari Malaria Sedunia 2025.
Menjelang target ambisius tersebut, Kemenkes menetapkan target pelaksanaan 8 juta tes malaria pada tahun 2025. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi sekitar 1,1 juta kasus yang diproyeksikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan delapan juta tes malaria yang ditargetkan, Kemenkes berharap dapat menemukan sebanyak mungkin kasus, dengan perkiraan sekitar 947 ribu kasus pada tahun 2025.
Lima provinsi telah berhasil mencapai status bebas malaria di tingkat provinsi, yaitu Bali, Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. “Kami bertekad mencapai 100 persen eliminasi di seluruh wilayah Indonesia pada akhir 2030,” tegas Menkes Budi.
Sementara itu, pemerintah tengah menangani Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah. Status KLB telah ditetapkan selama 30 hari, terhitung sejak 14 Agustus hingga 12 September 2025, menyusul peningkatan kasus yang signifikan sejak Januari hingga Agustus 2025, dengan total 168 kasus. “Penularan pertama ditemukan kasus positif malaria indigenous dari pekerja tambang,” ungkap Kepala Biro Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman. Tindakan responsif yang dilakukan meliputi penyelidikan epidemiologi, surveilans vektor, tata laksana kasus, dan penguatan koordinasi lintas sektor.
Perubahan iklim turut menjadi perhatian karena potensinya memicu peningkatan kasus malaria, dengan fluktuasi suhu dan pola hujan yang dapat memengaruhi perkembangbiakan nyamuk Anopheles serta penyebaran parasit malaria. Upaya pencegahan dan penanganan terus ditingkatkan melalui deteksi kasus, pemberian obat antimalaria, dan distribusi kelambu berinsektisida. Sebagai bagian dari strategi nasional, Indonesia meluncurkan inisiatif Presidential Call to End Malaria (PCEM), sebuah seruan dari Presiden kepada seluruh elemen bangsa untuk berperan aktif dalam menutup kesenjangan penanganan malaria.
Secara global, Indonesia menempati peringkat ke-32 dalam kasus malaria, dan peringkat kedua di Asia Tenggara setelah India. Pencapaian eliminasi malaria membutuhkan kolaborasi kuat antara pemerintah pusat dan daerah, akademisi, sektor swasta, media, serta seluruh lapisan masyarakat.













