JAKARTA, Mikulnews — Perasaan tidak senang menyaksikan kebahagiaan orang lain, yang dikenal sebagai iri hati atau *hasad* dalam ajaran Islam, merupakan penyakit hati yang berpotensi merusak hubungan interpersonal dan kesejahteraan diri sendiri. Fenomena ini secara eksplisit dilarang dalam kitab suci Al-Qur’an, seperti yang tertera dalam Surah An-Nisa’ ayat 32, yang mengingatkan, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain… Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dalam pandangan Islam, *hasad* dikategorikan sebagai akhlak tercela yang dapat menghanguskan pahala amal kebaikan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang menggarisbawahi keseriusan dosa ini. Pengendalian diri dari keinginan untuk merasakan ketidaknyamanan atas pencapaian orang lain adalah kunci utama untuk menghindari konsekuensi negatif dari sifat ini.
Salah satu fondasi penting dalam mengatasi sifat iri hati adalah kesadaran mendalam bahwa rezeki dan nasib setiap individu telah diatur sepenuhnya oleh Allah SWT. Keyakinan ini menumbuhkan penerimaan terhadap ketetapan Ilahi dan mengurangi kecenderungan untuk merasa lebih unggul atau tidak puas dengan apa yang dimiliki orang lain. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dalam karyanya *Mukhtasar Minhajul Qashidin*, menekankan pentingnya kerelaan atas ketetapan Allah sebagai cara fundamental untuk menghentikan sifat iri.
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa dorongan untuk tidak lagi bersifat iri terhadap sesama manusia harus dibarengi dengan keyakinan teguh bahwa Allah telah merancang dan menetapkan takdir setiap hamba-Nya dengan sempurna dan bijaksana. Hal ini menjadi landasan spiritual untuk melepaskan diri dari belenggu kecemburuan yang merusak kedamaian batin.
Selain itu, strategi praktis untuk mengalihkan fokus pikiran ke arah yang lebih positif sangatlah dianjurkan. Alih-alih terus menerus terpaku pada kesuksesan orang lain, individu disarankan untuk mengarahkan energi dan perhatian pada aktivitas produktif. Kegiatan seperti bekerja dengan ikhlas, mencurahkan perhatian pada keluarga, atau menekuni hobi yang disenangi dapat membantu memusatkan pikiran pada pencapaian diri sendiri dan mengurangi ruang bagi iri hati untuk berkembang.
Cara lain yang efektif untuk meredam perasaan iri adalah dengan mempraktikkan rasa syukur yang mendalam atas segala nikmat yang telah diterima. Kebiasaan bersyukur akan menumbuhkan ketenangan batin dan kebahagiaan, sekaligus secara signifikan mengurangi perasaan kurang yang seringkali menjadi pemicu utama tumbuhnya sifat iri hati.
Berhenti melakukan perbandingan diri dengan orang lain adalah langkah krusial yang dapat mencegah perasaan dengki dan cemburu. Setiap individu memiliki perjalanan uniknya sendiri, dan fokus pada kelebihan serta bakat pribadi dapat meningkatkan rasa percaya diri secara substansial. Seperti yang dilansir dari *fimela.com*, “Berhenti membandingkan hidupmu dengan orang lain agar kamu tak pernah merasa iri, dengki dan cemburu akan kebahagiaan yang dirasakan orang lain.”
Bergaul dengan individu-individu yang saleh juga memberikan pengaruh positif yang besar dalam menjaga hati dari penyakit iri. Nasihat-nasihat yang menyejukkan dari mereka berfungsi sebagai pengingat konstan akan kedekatan dengan Allah, menjauhkan diri dari perilaku yang menyimpang. Doa memohon perlindungan kepada Allah, termasuk membaca surat Al-Falaq dan An-Naas, merupakan metode proteksi diri dari keburukan yang mungkin datang dari orang lain. Introspeksi diri, atau *muhasabah*, memungkinkan seseorang untuk mengenali dan memperbaiki kekurangan diri, sehingga dapat menghindarkan diri dari rasa iri terhadap kelebihan orang lain. Dengan mengamalkan langkah-langkah ini, individu dapat meraih kebahagiaan sejati dan menjalani kehidupan yang harmonis.