Mikulnews.com – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, Abcandra Muhammad Akbar Supratman, menegaskan bahwa perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib mencairkan Tunjangan Hari Raya (THR) paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Penegasan ini juga mencakup para pengemudi ojek online (ojol) yang kerap terabaikan dalam pemberian hak-hak mereka.
Dalam keterangannya pada Selasa (11/3/2025), Akbar menekankan bahwa MPR akan mengawasi secara ketat proses pencairan THR ini. Ia menyoroti bahwa pemberian THR merupakan kewajiban yang diatur oleh pemerintah dan sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja menjelang hari raya. Pernyataan ini disampaikan di Gedung MPR RI Jakarta pada Senin (10/3/2025).
Akbar mengimbau perusahaan swasta untuk memberikan THR kepada pekerja, termasuk pengemudi dan kurir online, dalam bentuk uang tunai dengan mempertimbangkan tingkat keaktifan pekerja. Menurut data yang diterimanya, saat ini terdapat 250 ribu pengemudi ojol yang aktif, sementara 1 hingga 1,5 juta lainnya berstatus paruh waktu atau tidak penuh waktu.
Aturan mengenai pemberian THR di Indonesia tercantum dalam Pasal 6 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mewajibkan pengusaha atau perusahaan membayarkan THR kepada seluruh pekerjanya sebagai hak yang harus dipenuhi. Perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini untuk memastikan kesejahteraan pekerja dan mendorong kepatuhan pengusaha terhadap aturan ketenagakerjaan.
Akbar menambahkan bahwa mekanisme dan besaran pemberian THR akan diumumkan lebih lanjut melalui surat edaran Menteri Ketenagakerjaan. Perusahaan yang tidak membayarkan THR akan mendapatkan sanksi administratif sesuai Pasal 79 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Sanksi administratif yang dikenakan meliputi teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, serta pembekuan kegiatan usaha.
Namun, di balik penegasan tersebut, muncul pertanyaan mengenai efektivitas pengawasan dan implementasi di lapangan. Banyak pekerja, terutama di sektor informal seperti pengemudi ojol, seringkali tidak mendapatkan hak-hak mereka secara penuh. Meskipun regulasi telah ditetapkan, pelaksanaan di lapangan kerap menemui berbagai kendala, termasuk kurangnya sosialisasi dan pengawasan yang lemah.
Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa perusahaan akan mencari celah untuk menghindari kewajiban ini, misalnya dengan mempekerjakan pekerja dengan status kontrak atau paruh waktu untuk menghindari pembayaran THR. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi telah ada, tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, hak-hak pekerja tetap rentan diabaikan.
Lebih lanjut, pernyataan Akbar mengenai pengawasan oleh MPR menimbulkan tanda tanya tentang sejauh mana lembaga legislatif dapat terlibat dalam pengawasan langsung terhadap pelaksanaan kebijakan eksekutif. Apakah MPR memiliki mekanisme dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan tersebut, ataukah pernyataan ini hanya sebatas retorika tanpa tindakan nyata di lapangan?
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif, untuk bekerja sama memastikan bahwa hak-hak pekerja terlindungi. Tidak cukup hanya mengeluarkan regulasi tanpa memastikan implementasinya berjalan efektif. Diperlukan pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, dan sosialisasi yang luas kepada para pekerja mengenai hak-hak mereka.
Selain itu, peran serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil menjadi krusial dalam mengadvokasi hak-hak pekerja. Mereka dapat menjadi jembatan antara pemerintah dan pekerja dalam memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh mereka yang berhak.
Pada akhirnya, kesejahteraan pekerja tidak hanya bergantung pada regulasi yang ada, tetapi juga pada komitmen semua pihak untuk menghormati dan melaksanakan hak-hak tersebut. Tanpa komitmen dan tindakan nyata, pernyataan dan regulasi hanya akan menjadi teks tanpa makna bagi para pekerja yang menggantungkan harapan mereka pada janji-janji tersebut.
Dengan demikian, menjelang Hari Raya Idul Fitri, perhatian harus difokuskan pada implementasi nyata dari kebijakan pemberian THR. Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus bersinergi memastikan bahwa hak-hak pekerja dihormati dan dilaksanakan, bukan sekadar menjadi wacana tanpa realisasi.