Site icon InformasiBerita

Lemahnya pengendalian diri atau kesalahan prosedur ?

Peristiwa penembakan tiga orang hingga tewas di Cengkareng Jakarta Barat oleh oknum anggota Polri, menimbulkan pertanyaan kritis, benarkah tindakan tersebut?

Peristiwa penembakan tiga orang hingga tewas di Cengkareng Jakarta Barat oleh oknum anggota Polri, menimbulkan pertanyaan kritis, benarkah tindakan tersebut? Pada kondisi apa Polisi boleh menggunakan senjata api ? Bagaimana prosedur penggunaan senjata api  ? Bagaimana Propam dan Paminal menilai kasus ini ?

Jakarta. 25/02/2021. Diberitakan, terduga oknum anggota Polri, Bripka CS ditangkap oleh personel Polda Metro Jaya lantaran diduga menembak tiga orang hingga tewas di sebuah kafe di Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis pagi ini. Tiga korban tewas yakni seorang anggota TNI berinisial S dan dua pegawai kafe berinisial FSS dan M. Satu pegawai kafe lainnya, H, mengalami luka dan telah dibawa ke rumah sakit.

“Tindakan kekerasan dan penembakan diduga dilakukan oleh Saudara Bripka CS, tadi pagi sekitar pukul 04.00 WIB di Cengkareng, Jakarta Barat,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. Fadil menjelaskan, terduga pelaku sudah diperiksa secara maraton oleh penyidik. Penyidik mendapatkan dua alat bukti setelah dilakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi. “Kepada terduga pelakun sudah diproses langsung pagi hari ini juga dan ditemukan dua alat bukti berdasarkan keterangan saksi dan olah TKP,” kata dia.

Asas Praduga Tak Bersalah

Dalam penanganan kasus terduga oknum anggota Polri Bripka CS ini, agaknya kita harus menempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Tentu saja, kasus ini setidaknya akan masuk dalam pelanggaran disiplin dan pengadilan pidana umum karena adanya tindak pidana pembunuhan.

Namun mari kita sepakat untuk menangani kasus ini berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No 2 tahun 2016, tentang Penyelesaian Pelanggaran Disiplin  Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Merujuk pada Pasal 3, penyelesaian pelanggaran disiplin Anggota Polri dilaksanakan dengan prinsip Legalitas, profesionalisme, akuntabel, kesamaan hak, kepastian hukum, keadilan, praduga tak bersalah, transparan, cepat dan tepat.

Betapa pun kasus telah terjadi, tetap saja hak-hak individu harus dihargai. Beberapa poin telah terlewatkan. Poin g tentang asas praduga tak bersalah, misalnya, dalam penyelesaian pelanggaran disiplin, setiap anggota Polri yang dihadapkan pada perkara pelanggaran disiplin wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan yang berkekuatan tetap. Dari sisi prosedur ini saja, tampak ada hal yang kurang proporsional. Karena kasus masih baru dalam tahap penyidikan. Maka sejatinya, biarkanlah penyidik dari Divisi Propam untuk melaksanakan tugasnya sesuai prosedur dan nanti akan disampaikan hasilnya sehingga akuntabel dapat dipertanggungjawabkan secara administrative, moral dan hukum berdasarkan fakta.

Kapan Polisi Boleh Menembak?

Kasus penembakan oleh polisi seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan di benak publik: kapan sebenarnya polisi boleh menggunakan senjata api tersebut. Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti baru-baru ini mengatakan, terkait penggunaan senjata api ini sudah tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 yang mengatur tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri, serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan. Pernyataan Poengky secara spesifik merujuk pada Pasal 47 Perkap 8/2009. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa penggunaan senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia. Namun, dalam Perkap ini juga diatur syarat-syarat lebih lanjut bahwa senjata api hanya boleh digunakan dalam: membela diri dari ancaman luka berat/kematian, mencegah terjadinya kejahatan berat.

Terkait soal kemungkinan kejadian yang dialami oknum anggota Polri sebagaimana halnya yang dihadapi terduga Bripka CS, Poengky merasa penindakan tegas dengan peluru tajam tetap bisa dipraktikkan. “Misalnya yang bersangkutan dipelintir atau dicekik atau ditendang ramai-ramai juga pasti mengakibatkan luka parah dan bisa membahayakan nyawa yang dikeroyok,” kata mantan Direktur Imparsial ini.

Sedangkan pada Pasal 48 peraturan yang sama, kata Poengky, disebutkan juga petugas Polri harus memberikan peringatan yang jelas dengan beberapa cara, yakni menyebutkan identitas sebagai aparat penegak hukum, memberi peringatan dengan ucapan secara jelas kepada sasaran untuk berhenti, dan memberi waktu agar peringatan diindahkan. Namun, lanjut Poengky, hal tersebut tidak perlu dilakukan apabila keadaan sangat terdesak. “Jika kejadiannya dianggap membahayakan nyawa dan berada dalam jarak yang dekat sehingga tidak bisa lagi menghindar, maka penggunaan senjata tidak perlu peringatan,” kata Poengky mengutip bunyi Pasal 48 ayat (3) Perkap 8/2009.

Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi  menjelaskan, Perkap Nomor 8 tahun 2009 harus menjadi landasan penentuan tindak pidana bagi aparat kepolisian. Menurut dia, aturan ini sudah mengatur sejauh mana batasan penggunaan kekerasan oleh polisi dengan alasan membela diri. Dalam konteks kasus oknum anggota Polri Bripka CS, Mahmud menegaskan, penyelidikan nanti harus melihat terkait kronologi kejadian itu, apakah akan membahayakan nyawa penegak hukum atau tidak. Soal adanya peringatan sebelum menembak, menurut dia, harus dilihat juga dari kondisi tingkat bahaya serangan.

Arogansi Pemilik Senjata Api ?

Berbeda dengan Poengky dan Mahmud Mulyadi, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar justru menilai bahwa tindakan polisi yang menembak warga sipil tanpa terlebih dahulu memberikan peringatan merupakan pelanggaran hukum dan bentuk arogansi para pemilik senjata api legal.

Menurut Fickar, penembakan itu terjadi tanpa adanya prosedur yang proporsional. Seharusnya, posisi warga sipil yang tanpa senjata, perlu diberikan peringatan terlebih dahulu. “Kalau bukan dengan penjahat, tidak boleh menembak, kecuali lawannya bawa senjata juga [tajam atau api]” kata dia. Fickar menilai peluang pidana terhadap terduga Bripka CS cukup tinggi, karena ada standar operasional prosedur yang kemungkinan besar dilanggar dalam kasus tersebut. Seharusnya, kata dia, polisi sudah mempertimbangkan apakah tembakan yang berakibat pembunuhan itu dibutuhkan atau tidak. “Terduga Bripka CS tetap harus dipidana sebagai penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian atau pembunuhan,” kata dia. Hingga saat ini, polisi masih melanjutkan penyelidikan kasus ini.

Fakta Lapangan

Dalam kasus ini, menurut Poengky, adanya pelanggaran atau tidak harus dilihat dari kejadian yang terjadi di lapangan. Persoalannya, kata Poengky, hingga saat ini banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam pemeriksaan. Fakta kejadian lengkapnya masih belum diketahui, meski peluru berasal dari pistol Bripka CS misalnya, tetapi siapa yang menekan pistol itu juga masih belum dipastikan. “Hal tersebut harus dibuktikan terlebih dulu,” kata Poengky.

Poengky berpendapat, cara terbaik adalah membawa kasus ini ke tingkat penyidikan dan dilimpahkan di pengadilan pidana umum, karena Polri sejak era reformasi harus tunduk pada hukum pidana umum. Poengky percaya penyelidikan yang dilakukan penyidik yang berasal dari Internal Polri dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri akan objektif. Jika kemudian memang ada pelanggaran dalam penyelidikan, Poengky menilai, publik pasti akan mengetahuinya. “Untuk penyeimbangnya ada mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal. Pengawasan internal sudah melalui Propam, dan eksternal dilakukan oleh Kompolnas, Ombudsman, dan lai-lain. Jadi prosedurnya sudah benar,” kata dia.

Prosedur Polisi Pemegang Senjata Api

Ada beberapa tahapan pertimbangan seorang anggota kepolisian berhak memegang senjata api. Pertimbangan tersebut, untuk menilai kelaikan anggota kepolisian dalam memegang dan membawa senjata api dalam bertugas. Pertimbangan pertama, adalah penilaian terhadap tugas anggota kepolisian tersebut apakah berorientasi untuk memegang senjata api atau tidak. Kedua, yang bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi dari pimpinannya sebagai pihak yang menilai kelaikan anggotanya untuk memegang senjata api. Pertimbangan ketiga, yang bersangkutan harus lulus uji psikologi.

Pertimbangan keempat dan kelima, yang bersangkutan harus lulus uji kesehatan dan lulus uji kemahiran menembak. Terakhir, yang keenam adalah yang paling menentukan, yakni dilihat rekam jejaknya. Karena jika pun anggota Polri itu lulus semua tahapan tapi rekam jejaknya buruk tidak bisa memegang senjata api. Misalkan rekam jejaknya buruk seperti berperilaku buruk, melakukan kekerasan kepada masyarakat, maka dia tidak boleh memegang senjata api. Selain itu, pihak kepolisian juga melakukan inspeksi kepemilikan senjata api setiap enam bulan dengan memeriksa perlengkapan senjatanya, termasuk pemiliknya sendiri.

Adapun terkait  kasus  terduga Bripka CS, meskipun pangkat pelaku masih Brigadir, selama memiliki senjata api, berarti pelaku memang sudah lolos tes dan mengantongi izin. Kalau memang dia sudah memegang secara organik berarti dia dinyatakan layak. Dia bertugas di Polsek Kalideres, anggota Satuan Reskrim Polsek Kalideres. Jadi boleh jadi bukan dari prosedur, tapi dalam konteks pengendalian diri. Kasus ini masih dalam proses penyidikan, dan sudah masuk ranah tindak pidana umum, yakni melakukan pembunuhan dengan modus penembakan.

Cek Ulang Prosedur

Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri akan melakukan pengecekan kembali prosedur pemegang senjata api terhadap seluruh jajaran anggota di semua wilayah. Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo menyatakan, pengecekan ulang prosedur itu salah satunya dengan meninjau catatan perilaku anggota polisi. “Dengan tes psikologi, latihan menembak, dan catatan perilaku anggota Polri,” kata Ferdy dalam keterangannya, Kamis (25/2/2021). Selain itu, Propam Polri akan melakukan penertiban terhadap larangan anggota Polri untuk memasuki tempat hiburan dan meminum minuman keras, termasuk penyalahgunaan narkoba.

Ferdy pun mengatakan bahwa terduga Bripka CS akan diberhentikan secara tidak hormat. Hal itu akan diputuskan Komisi Kode Etik Polri sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, setelah ada keputusan yang tetap di pengadilan umum. (Saf).

Author

Exit mobile version