Akhir-akhir ini istilah radikalisme menjadi sangat populer dan dikaitkan dengan ajaran keras, ekstrem mengarah ke terorisme. Benarkah paham radikalisme sudah masuk ke ranah pendidikan dan kalangan muda Indonesia ? Solusinya ?
Jakarta – (09/03/2021). Perlu dijelaskan sedikit tentang kata Radikal yang sebenarnya. Radikal berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Orang yang berpikir radikal artinya memahami konteks sebuah pemikiran secara utuh -tidak hanya sebatas epistemoligi dan axiology – tapi hingga ke akar (ontologis) dari pemikiran tersebut. Dalam artian ini, maka bila seseorang memiliki pemahaman tiap disiplin ilmu tidak setengah-setengah, utuh dan holistik, berarti pemikirannya sangat dalam dan mengakar (radikal). Tentu ini istilah yang baik dan universal.
Namun di Indonesia istilah radikal ini mengalami peyorasi, yakni perubahan makna pada suatu kata, dimana makna yang telah mengalami perubahan tersebut menjadi lebih buruk, sempit, kasar atau kedudukannya lebih rendah dari makna kata yang sebelumnya. Radikal dan radikalisme dikaitkan dengan ajaran agama yang keras, ekstrem, intoleran dan menjurus anti NKRI bahkan terorisme. Kalau ajaran keras, intoleran dan terorisme yang dimaksud, agar tidak rancu, maka radikal di sini adalah ekstrem, keras, bukan radikal dalam arti yang sebenarnya.
Sebuah Survei
Baru-baru ini ada sebuah survei memperlihatkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Anak-anak di sekolah tingkat dasar dan menengah bahkan taman kanak-kanak berisiko terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme, seperti ditunjukan sejumlah penelitian. Kekhawatiran juga itu disampaikan oleh sejumlah orang tua. “Suatu hari saya lagi mengobrol sama dia, terus dia lihat film di TV, dia bilang sama aku itu orang Islam lagi memerangi orang kafir lho. Kafir itu apa saya pengen ngetes. (Dia jawab) Kafir itu orang yang bukan Islam. Saya terus terang deg, bapaknya juga kaget.”
Tyas (39) seorang ibu dari anak yang belajar di sekolah dasar di kawasan Jabodetabek mengungkapkan kekhawatiran tentang pelajaran agama di sekolah. “Kamu tahu dari siapa? Dia bilang dari pak guru di sekolah katanya. Jadi kekhawatiran kami itu keluarga kami tidak mayoritas Muslim, menurut saya berdampak tidak baik sama anak saya, takutnya reluctant dengan perbedaan karena di keluarganya juga ada yang begitu.”Orang tua lain, Mira Siregar, langsung memindahkan anaknya dari sebuah sekolah swasta di Jakarta, setelah mengetahui sekolah memutarkan film tentang perang Palestina untuk murid-muridnya. “Ketika itu kelas dua, dan saya langsung memindahkan anak saya ke sekolah lain begitu naik kelas tiga, saya sangat khawatir itu ‘kan masalah kekerasan, ada kaitan dengan ideologi juga, dan tidak layak dilihat oleh anak-anak,” jelas Mira.
Ajaran kekerasan pernah ditemukan oleh organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama, GP Ansor, yang menyebut beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK) berjudul Anak Islam Suka Membaca, mengajarkan kekerasan dan memuat kata-kata ‘jihad’, ‘bantai’, dan ‘bom’. Akhirnya buku itu pun ditarik setelah menimbulkan kritikan gencar dari masyarakat. Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra mengungkapkan paham radikal dalam arti ekstrem/keras — yang menganggap pemahamannya paling benar — juga telah menyusup ke sekolah menengah melalui guru.
“Saya mengalami sendiri. Putri saya sekolah di sebuah sekolah yang bagus, elite, cukup mahal di Jakarta selatan. Ada satu atau dua gurunya yang kalau mengajar suka menyisipkan pesan-pesan ajaran salafi, yang berpikir hitam putih, atau mengajarkan paham-paham yang kelihatan proradikalisme untuk mengubah keadaan,” kata Azyumardi. “Cuma, saya tidak tahu berapa banyak murid yang bisa terpengaruh,” katanya.
Kebijakan sekolah
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, yang juga guru besar sosiologi Islam di UIN Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal/ekstrem/keras. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.
Peneliti Maarif Institute, Abdullah Darraz, mengatakan melemahnya nilai Pancasila dan kebangsaan di sekolah berbanding lurus dengan maraknya radikalisme itu. “Institusi sekolah ini dalam pandangan kami itu dari aspek sisi kebijakan, proses pembelajaran di kelas dan proses eskrakulikuler yang membuat radikalisme itu menguat di sekolah negeri. Ada sekolah yang terlalu permisif yang membolehkan kelompok radikal masuk situ, itu mengatasnamakan bimbingan belajar dan konseling,” jelas Darraz. Selain itu, menurut Darraz yang melakukan penelitian di Garut Jawa Barat, lingkungan keluarga juga berpengaruh karena sering kali orang tua membiarkan anak-anaknya mengikuti kelompok garis keras, daripada anaknya terlibat tawuran atau narkoba.
Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, beberapa tahun lalu sebuah yayasan pendidikan pernah memecat 13 guru karena mengajarkan paham ekstrem (radikal), seperti dijelaskan Ketua Yayasan Assalamah Ungaran, Husein Abdullah. “Memberikan pelajaran agama yang tidak sesuai syariat yang kami anut, mereka ini tidak sesuai dengan Syafi’i, mengajarkan tak boleh tahlil, ziarah kubur, ini bapak-bapak kamu kalau tahlil itu salah dalam tanda kutip sekarang orang berbicara dengan istilah wahabi itu, mereka tak mau upacara bendera hari Senin, tak mau menyanyikan Indonesia Raya, setelah mereka masuk itu tidak ada,” jelas Husein.
Menurut dia, setelah peristiwa itu pengawasan terhadap sekolah asuhan Yayasannya ini dilakukan dengan lebih ketat. Selain itu, Kemendikbud juga mewajibkan murid untuk membaca buku sebelum pelajaran dimulai, untuk menumbuhkan cara berpikir kritis, karena dengan itu dapat menangkal paham ekstremisme. Sementara, Kementerian Agama ingin menambahkan materi tentang figur Nabi yang toleran dan penganjur perdamaian dalam materi pelajaran sejarah Nabi Muhammad di sekolah-sekolah.
Pemahaman keislaman dan keindonesiaan
Sementara itu, pada kesempatan lain. Azumardi Azra mengatakan penyebaran paham ekstremisme di kalangan murid sekolah menengah ini ini harus segera disikapi pemerintah. “Karena itu saya berulang kali mengusulkan kepada Menteri Agama atau Mendikbud supaya para guru ditatar dan diberikan sarasehan mengenai keislaman, keindonesiaan, kepanduan atau integrasi antara keislaman dan keindonesiaan, ” jelas Azyumardi. Karena, menurut dia, para guru tidak memiliki perspektif yang jelas mengenai keindonesiaan dan keislaman, yang sesungguhnya terintegrasi. “Jadi tidak perlu dipertentangkan sebagai dua entitas yang bertentangan,” jelas Azyumardi. Semakin perlu standardisasi para guru, terutama guru agama, agar memahami keberagaman.
Menguatnya Paham Ekstremisme di Kalangan Generasi Muda
Radikalisme dalam arti ektremisme dan terorisme yang melibatkan generasi muda dan perempuan di Indonesia sudah menjadi nyata. Lebih jauh dari itu aksi terorisme yang melibatkan satu keluarga utuh orang tua dan anak-anak juga sudah terjadi seperti kasus bom Surabaya (2018). Sebelumnya kasus aksi teror yang melibatkan remaja juga terjadi di Gereja Katolik Medan (28/8/2016), serangan terhadap polisi di Cikokol (20/10/2016), dan aksi dua remaja putri di Mako Brimob (10/5/2018). Demikian disampaikan Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.
Selain bom Surabaya dan aksi dua remaja putri di Mako Brimob, aksi teror yang melibatkan perempuan seperti rencana aksi bom panci ke Istana yang berhasil digagalkan (Desember 2016), bom Sibolga (Maret 2019), teror terhadap Menkopolhukam Wiranto (Oktober 2019), bom Medan (November 2019). Data-data tersebut menunjukkan bahwa generasi muda dan perempuan merupakan kelompok rentan yang menjadi target ekstremisasi hingga menjadi pelaku teror secara langsung.
Keterlibatan generasi muda dan perempuan dalam radikalisme dalam arti ekstremisme dan terorisme, menurut Stanislaus Riyanta, menguat sejak kelompok radikal ISIS eksis di Indonesia. Sebelumnya pada saat dominasi kelompok radikal di Indonesia oleh Al-Jamaah Al-Islamiyyah, anak-anak dan perempuan dilarang untuk berada di garis depan. Namun ISIS justru memanfaatkan generasi muda dan perempuan untuk terlibat dalam aksi terorismenya. Hal tersebut diperkirakan karena generasi muda dan perempuan dianggap lebih tidak dicurigai sehingga akan lebih mudah untuk menjadi pelaku teror.
Fathali Moghaddam dalam teori Staircase to Terrorism menyebutkan bahwa proses seseorang menjadi teroris melalui enam tangga. Pertama, individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan yang tidak adil; kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan penyerangan yang dianggap sebagai musuh; ketiga, individu mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Pada tangga keempat, setelah seseorang memasuki organisasi teroris, dan hanya ada kemungkinan kecil atau bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup. Tangga kelima seseorang menjadi siap dan termotivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme. Pada tangga terakhir adalah tangga dimana seseorang sudah berada pada puncak keyakinan untuk melakukan aksi teror.
Generasi muda dan perempuan menjadi lebih mudah terpapar paham radikal dalam arti ektrem/keras saat ini karena adanya perkembangan teknologi yang membuka akses kepada konten-konten radikal/ekstrem/keras dengan bebas. Pada era sebelumnya radikalisasi atau lebih tepatnya ektremisasi dilakukan dengan tatap muka secara selektif, sembunyi-sembunyi, dan memerlukan waktu cukup lama, namun saat ini dapat dilakukan dengan sangat cepat, masif dan terbuka. Konten-konten dengan narasi ekstrem disebarkan melalui media sosial dan situs web sehingga mudah diakses oleh siapa saja. Generasi muda dan perempuan yang aksesibilitasnya terhadap informasi cukup kuat menjadi kelompok yang rentan untuk menerima paparan paham ekstrem/keras.
Perkembangan teknologi ini membuat tahapan generasi muda dan perempuan untuk menjadi ekstrem bahkan berujung kepada teroris, menjadi lebih cepat. Jika mengacu pada staircase to terrorism, teknologi menciptakan short cut proses untuk menjadi teroris langsung manapaki tangga ketiga untuk menjadi teroris. Fathali Moghaddam menjelaskan bahwa tangga ketiga adalah kondisi dimana seseorang mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Pada tangga ketiga ini seseorang mulai berkenalan dengan ideologi radikal/ekstrem yang menawarkan solusi bagi kondisi sosial politik berlanjut pada upaya mempelajari ide-ide, nilai-nilai, dan strategi perjuangan kelompok ekstrem. Seseorang yang sudah berada pada tangga ini cenderung akan eksklusif dan memisahkan diri dengan pihak lain yang dianggap berbeda.
Dengan fenomena ekstremisme, terorisme di kalangan generasi muda dan perempuan yang dipermudah oleh adanya teknologi internet maka diperlukan berbagai intervensi oleh negara untuk mencegah ekstremisme semakin meluas. Pemerintah harus mempunyai mekanisme untuk membendung konten-konten radikal/keras/ektrem di internet agar tidak diakses masyarakat. Selain itu negara juga harus mampu melakukan pemantauan dan tindakan deteksi dini cegah dini terhadap aktivitas kelompok-kelompok tertentu yang mengarah kepada perekrutan generasi muda dan perempuan dalam jaringan kelompok ekstrem.
Selain upaya pencegahan tersebut, pada tingkat dasar negara harus mambangun suatu ketahanan pada masing-masing keluarga di Indonesia agar tidak mudah dipengaruhi oleh ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Ketahanan keluarga ini harus dibangun sejak dini yang melibatkan unsur masyarakat sipil dan organisasi massa untuk membantu pemerintah. Dengan upaya pencegahan beredarnya konten-konten radikal/ekstrem di internet, pengawasan dan penindakan kelompok-kelompok ekstrem/keras, dan pembangunan ketahanan keluarga di masyarakat, diharapkan generasi muda dan perempuan menjadi lebih tangguh dan mampu menolak ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan mengingat kompleksitas masalah yang cukup tinggi dengan tantangan wilayah yang luas dan jumlah masyarakat yang cukup banyak.
Tak Ada Kriminalisasi Ulama
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md dalam berbagai kesempatan selalu membantah terjadi kriminalisasi terhadap ulama. Dia menekankan para ulama yang menjadi terseret kasus hukum, diproses lantaran mereka melakukan tindak pidana. Bukan karena berbeda pandangan politik. “Ayo, sebut satu saja kalau ada ulama yang dikriminalisasi. Ketahuilah, mereka yang dihukum itu karena tindak pidana, bukan karena ulama. Masak, melakukan kejahatan tidak dihukum?” kata Mahfud Md.
Dia lalu menyebut beberapa nama yang kerap disebut sebagai ulama dan memiliki masalah hukum. Salah satunya yakni, Abu Bakar Baasyir yang dinyatakan terlibat dalam kasus terorisme. “Dia itu dijatuhi hukuman ketika Ketua Mahkamah Agung dikenal sebagai tokoh Islam yakni, Bagir Manan. Tak mungkin Pak Bagir membiarkan kriminalisasi ulama, jika tak ada bukti terlibat terorisme,” tutur Mahfud Md. Di sini Mahfud juga menyebut ulama asal Manado, Bahar bin Smith dihukum karena melakukan penganiyaan berat. Bukan karena telah menghina pemerintah atau menyebarkan ujaran kebencian.
Termasuk Rizieq Shihab
Begitu pula dengan Pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab yang kini terseret masalah hukum. Adapun Rizieq ditetapkan sebagai tersangka kasus kerumunan dan kini ditahan di rutan Polda Metro Jaya.”Rizieq Shihab? Dia tak pernah dihukum atau ditersangkakan karena politik atau kehabibannya. Tetapi karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana umum,” ujar Mahfud Md.
Sementara itu, kata dia, Sugik Nur Raharja atau Gus Nur ditetapkan tersangka karena kasus ujaran kebencian secara terbuka. Selain itu, Mahfud menuturkan Sugik bukanlah seorang ulama. “Tak ada kriminalisasi ulama di Indonesia sebab selain ikut mendirikan Indonesia dulu, saat ini para ulama lah yang banyak mengatur, memimpin, dan ikut mengarahkan kebijakan di Indonesia,” tutur Mahfud Md.
Dengan demikian, betapa pun kini isu kriminalisasi ulama hanya akan menjadi jargon saja, karena pada faktanya, pemerintah maupun aparat penegak hukum melakukan penangkapan atau penahanan karena yang bersangkutan tersangkut kasus pidana, bukan karena keulamaannya. Masyarakat pun, saat ini sudah semakin paham dan kritis, sehingga tak akan mudah terjebak pada istilah kriminalisasi ulama. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo berharap tak ada lagi istilah kriminalisasi ulama. “Saya kira bahasa kriminalisasi itu ke depan kami harapkan tidak ada lagi. Artinya memang kami akan membuka ruang komunikasi,” kata Listyo baru-baru ini.
Ia mengingatkan penanganan kasus dugaan tindak pidana harus dibedakan dengan kriminalisasi terhadap ulama. Baginya, penegakan hukum bukan sebuah kriminalisasi, tapi karena polisi menemukan dugaan tindak pidana. “Namun demikian kalau ada proses penegakan hukum yang kami lakukan, bukan karena kriminalisasi, namun karena ada tindak pidana yang terjadi,” tutur Listyo. Untuk diketahui, bahasa kriminalisasi ulama kerap terdengar dalam beberapa tahun terakhir. Terakhir, istilah itu terdengar setelah pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab ditetapkan sebagai tersangka kasus kerumunan. (Saf)