NASIONAL

Pakar hukum UI ajak masyarakat kawal virtual polisi

JawaPos.com – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mengatakan, adanya Virtual Polisi bisa menjadi alat represi baru Polri di dunia digital.

“Dalam konteks perubahan teknologi kepolisian modern di era police 4.0, Kapolri justru merealisasikan virtual police. Pemberlakukan virtual police ini justru menjadi alat represi baru di dunia digital,” kata Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti dikutip dari laman Kontras, (7/5).

Menurut Fatia, keberadaan polisi virtual membahayakan hak kebebasan masyarakat dalam  berekspresi dan berpendapat  di ruang digital.  “Karena menjadi ancaman konkret terhadap kebebasan berekspresi warga negara di media sosial,” jelasnya.

Komentar itu pun menuai polemik dan sorotan dari berbagai kalangan, salah satunya Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Teuku Nasrullah. Ia lebih memilih untuk mengajak semua pihak untuk berpikir positif dalam menyikapi adanya Virtual Polisi.

“Marilah kita berpikir positif dulu sambil menyimak dan mengkritisi perjalanannya sembari memberi masukan-masukan konstruktif untuk perbaikannya di sana-sini,” ujar Nasrullah dalam keterangannya, Minggu (9/5).

Lebih lanjut dia pun mengapresiasi dibentuknya Virtual Polisi. Diharapkannya agar unit tersebut dijalankan dalam frame dan upaya menghindari terganggunya kebebasan berekspresi serta mengemukan pendapat, kritik, dan koreksi di dunia maya.

Karena menurutnya, dalam permasalahan dunia siber, tugas dan peran kepolisian selain menindak kejahatan komputer (computer crime) juga menindak kejahatan terkait komputer (computer-related crime). Dalam bagian computer-related crime itulah terdapat kejahatan berupa ujaran kebencian, penistaan, hingga penghinaan terhadap simbol negara, orang-pribadi hukum yang dilakukan di dunia maya.

“Perbuatan melanggar hukum itu yang dulu dapat terjadi dalam kehidupan keseharian, sekarang juga terjadi, tetapi ada di dunia digital. Inilah yang negara ini harus peduli dan berproses untuk mengatasi masalah, dalam upaya membangun ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Nasrullah menekankan, masyarakat tidak perlu merasa ketakutan dengan peringatan virtual polisi, bahkan kita harus berterimakasih dengan bergesernya Politik Hukum di bidang penegakan hukum yang semula langsung diproses, sekarang lebih kepada pendidikan dan pembelajaran kepada masyarakat dengan diingatkan jika ucapan, tulisan, dan tindakannya salah dan bersentuhan dengan hukum.

Menurut dosen hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) asal Aceh ini, dengan kondisi yang ada seperti itu, Nasrullah berharap bahwa upaya Polri melalui Virtual Polisi dapat dikategorikan sebagai upaya membangun ketertiban.

“Mari kita jaga dan kawal bersama agar virtual polisi ini tidak didesain untuk mencari-cari kesalahan orang. Tetapi, mengingatkan masyarakat bahwa perilaku kita di dunia maya harus tertib, dengan cara: kita harus tertib sejak dalam pikiran, inilah tugasnya Virtual Polisi,” ujarnya.

Sepaham dengan keterangan Nasrullah, ahli Digital Forensik Ruby Alamsyah mengungkapkan bahwa dirinya terus memantau efektivitas virtual polisi. Berdasarkan data yang ia himpun dari Mabes Polri, diketahui data terakhir rekapan hasil pelaksanaan Virtual Polisi Dittipidsiber Bareskrim Polri telah mengajukan 419 konten yang berpotensi mengandung ujaran kebencian berdasarkan SARA yang berpotensi melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Dari jumlah itu, konten yang sudah berstatus PVP berjumlah 274 yang telah lolos verifikasi; 98 tidak lolos verifikasi; dan 47 dalam proses verifikasi. Sementara itu, dari PVP yang telah lolos verifikasi tersebut, kondisi status peringatan terdiri dari 74 peringatan berstatus dalam proses; 68 peringatan dalam status peringatan pertama; 68 konten dalam status peringatan kedua; 27 peringatan berstatus tidak terkirim; dan 76 peringatan statusnya gagal terkirim.

Data itu menunjukkan bahwa lebih banyak peringatan gagal terkirim. Artinya, pelaku ujaran kebencian itu ternyata akun anonim yang tidak bertanggung jawab. Setelah mereka posting ujaran tidak baik itu, mereka meninggalkan akunnya sehingga tidak bisa dihubungi oleh Virtual Polisi.

“Semoga situasi ini memberikan pemahaman, bahwa masih banyak orang tidak bertanggung jawab di dunia maya,” urai Ruby.

Satu-satunya orang Indonesia sekaligus yang pertama menjadi anggota International High Technology Crime Investigation Association (HTCIA) ini menerangkan, virtual polisi memiliki SOP dalam memberikan peringatan.

Dijelaskan, PVP hanya ditargetkan khusus pada konten-konten yang berisi ujaran kebencian berdasarkan SARA berpotensi melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE.

“Saya lihat secara teknis, virtual polisi ini tidak ada yang menyalahi dari aspek teknis digital, dan secara SOP itu clear. Terlihat dari proses verifikasi konten kepada para ahli,” tegasnya.

Ruby juga menekankan, bahwa upaya Polri dengan peringatan virtual polisi juga selaras dengan kenyataan data hasil riset Microsoft tentang tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020. Dalam laporan berjudul ‘Digital Civility Index (DCI)’, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara untuk tingkat kesopanan netizen se-Asia Tenggara. Indonesia hanya lebih unggul dari Meksiko dan Rusia.

Author

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.