Perjuangkan Keadilan dan Kesejahteraan Kaum Muslim: Isu Menjual Yang Strategis Bagi Politik Khilafah di Indonesia
Isu-isu memperjuangkan kesejahteraan ekonomi yang lebih adil dan berpihak kepada orang Islam adalah faktor yang hingga kini masih strategis untuk menarik dukungan kaum Islam di dunia termasuk Indonesia guna lebih mendukung cita-cita pendirian negara khilafah. Berbagai situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tidak menguntungkan kaum muslim di era kontemporer menjadi pembeda perjuangan khilafah di era klasik dan abad pertengahan dibanding era modern ini. Serangkaian keterpurukan, kemunduran dan keterbelakangan serta situasi carut-marut ekonomi yang menimpa kaum muslim telah membangkitkan semangat keberrsamaan menghidupkan kembali sistem politik khilafah untuk muslim sedunia. Sistem ini didambakan sebagai alternatif politik terakhir dan obat mujarab mengatasi persoalan-persoalan kesenjangan ekonomi dunia yang kian menjadi-jadi, di mana Indonesia masuk di dalamnya.
Jakarta – 9 Maret 2021 – Kesenjangan ekonomi yang semakin dalam telah membuat gerakan khilafah berkembang dan menjelma menjadi gerakan politik global transnasional yang melintasi batas-batas negara. Ini perbedaan mencolok atas dimensi gerakan ini dibanding masa-masa sebelumnya, demikianlah menurut Prof Sumanto Al Qurtubi dari King Fad University.
Jauh sebelum organisasinya dibubarkan, juru bicara HTI yang berhaluan khilafah, Ismail Yusanto pada 2017 menyatakan “Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menerapkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Kalau kita kembali ke kapitalis tentu tidak elok, karena kapitalis itulah yang menimbulkan masalah. Kalau kita kembali ke sosialis itu lebih tidak elok lagi. Lalu apa? Ya, Syariah Islam.”
Sistem kapitalisme dan perbaikan demokrasi diyakini tidak membawa keuntungan ekonomi apapun bagi kaum muslim. Penegakan syariat Islamlah yang menjadi syarat utama agar keberhasilan-keberhasilan seperti penetapan sistem khalifah di masa lalu dapat muncul kembali menjadi acuan yang relevan.
Sistem Ekonomi Khilafah
Seorang pengagum sistem ekonomi Khilafah Meto Elfactch (Ketua LDKI UPMI) menyatakan bahwa sistem kapitalisme dan sosialisme tidak saja telah gagal tapi juga membelenggu kehidupan manusia. Indikator keadilan yang digunakan salah. Mekanisme pasar bebas kapitalis telah membebaskan individu menguasai harta kekayaan lewat persaingan bebas tanpa intervensi negara. Karenanya, angka GNP sebagai barometer kesejahteraan riil di masyarakat menurutnya menipu. Di baliknya, sebenarnya ada fakta kesenjangan ekonomi yang besar pada masyarakat dunia, termasuk yang di Indonesia.
Sistem khilafah yang didasarkan akidah Islam, hukum Islam dan dakwah Islam secara total, menurutnya mampu menciptakan rumus mutlak menghadirkan rahmat semesta secara riil. Ketika kerahmatan diartikan keadilan, maka Islam hadir membawa keadilan. Ketika kerahmatan bermakna kesejahteraan, hukum, Islam datang memberi kesejahteraan riil yang didambakan.
Ruang lingkup hukum Islam tentang pembagian kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) dan distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas) lewat mekanisme syariah, menjamin terwujudnya keadilan sekaligus kesejahteraan ekonomi tiap individu. Namun, distribusi kepemilikan dalam Islam tidaklah dibiarkan bebas sebagaimana pasar bebas dalam kapitalisme, juga tidak dimonopoli total oleh negara sebagaimana sistem komando sosialisme.
Isu kesenjangan ekonomi di Indonesia
Serangan keras terhadap kesenjangan ekonomi di Indonesia berbasis fikiran seperti di atas, sering disuarakan dalam pertemuan-pertemuan pengikut khilafah. Pada orasi konperensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Juni 2011 di Jakarta, berjudul “Indonesia di dalam cengkeraman kapitalisme global’, efektifitas sistem demokrasi kapitalisme di Indonesia secara khusus mulai diserang.
“Umat Islam dibodohi, harta kekayaannya dirampok, ajaran agamanya dicampakkan, lalu dicekoki dengan demokrasi. Demokrasi kapitalisme hanya melahirkan kesenjangan dan bukan kesejahteraan. Sudah terbukti, tanpa demokrasi, suatu negara bisa sejahtera seperti misalnya Taiwan atau Korea Selatan. Lebih jauh lagi, kemakmuran masyarakat di negara Barat dan negara maju sebenarnya bukan hasil demokrasi mereka yang sesungguhnya, melainkan dari imperialisme mereka sebelumnya.
Suatu kesejahteraan yang hakiki hanya dapat tercapai lewat penerapan ajaran Islam dan syariahnya seperti ditunjukkan oleh pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khaththab selama 10 tahun masa pemerintahannya. Kesejahteraan dapat merata ke segenap penjuru negeri waktu itu. Pemberdayaan wakaf memperjuangkan kesejahteraan. Itu sebabnya, hampir 75% lahan yang dapat ditanami pada masa Daulah Khilafah Turki Usmani merupakan tanah wakaf.
Upaya terus-menerus membingkai narasi khilafah sebagai konsep paling ideal untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia, menurut Kurnia Widodo, mantan anggota HTI, merupakan isu yang selalu didengang-dengungkan kepada anggota-anggotanya. Menurut pengalamannya selama bergabung, organisasi HTI sangat pandai menggunakan isu-isu kebobrokan sistem ekonomi di Indonesia seperti utang, kemiskinan maupun ketidakadilan. Solusi dan jalan keluar ideal hanyalah tersedia lewat penerapan konsep khilafah, katanya.
Kepandaian menarik simpati kaum intelektual menurutnya juga penting digarisbawahi sebagai upaya melebarkan pengaruhnya. Sudah sejak awal 1980-an, kelompok khilafah mulai aktif di kampus-kampus untuk mendekati kalangan mahasiswa dan akademisi kampus guna pengkaderan.
Narasi dan bahasa propaganda dalam memperjuangkan ide-ide politik dan ekonomi amat terkemas dengan baik sehingga menggiurkan kalangan muda kampus. Mereka dilatih menjadi agen-agen untuk menarik simpati tokoh-tokoh lokal sehingga pandangan khilafah dapat meluas menjadi rujukan mainstream masyarakat di luar kampus. Itulah sebabnya paham khilafah mudah menyebar luas ke mana-mana, bahkan dalam beberapa kasus mampu menghinggapi aparat keamanan dan penegak hukum untuk bersimpati kepadanya.
Karena alasan itulah, walau sudah dicap sebagai ormas terlarang, masih saja pengaruh ideologi khilafah masih besar dan digandrungi golongan muda dan intelektual. Sesudah adanya pelarangan HTI, banyak pengikutnya melebur ke dalam organisasi Islam lain dan menggunakan organisasi baru mereka untuk meneruskan cita-cita khilafah tanpa harus menyertakan label dan identitasnya.
Pelarangan yang dilakukan Pemerintah, jelas tidak akan dengan mudah mematikan pergerakan ini, apalagi golongan pengikut yang lebih muda dan pandai sudah gencar mulai menggunakan platform media sosial secara cerdik dalam memperjuangkan ide-ide khilafah secara lebih luas.
Pemikiran mengenai khilafah masih terus hidup dan dihidupkan diam-diam dan dilakukan dengan pendekatan makin agresif. Pola ini bukan baru karenasudah terpancar dari sejarah panjang perjalanan mereka di Indonesia. Sejarah menunjukkan mereka tahan banting untuk bisa bangkit kembali.
Pemaparan sejarah muncul dan berkembangnya ide khilafah di bawah ini memperlihatkan perkembangan dari waktu ke waktu termasuk ketika bertransformasi dalam label yang baru. Lebih jauh lagi, cita-cita menegakkan suatu negara Islam berdasarkan syariat Islam dalam perjalanannya mampu berubah dari hanya bersifat lokal transnasional dan disertai penambahan dimensi-dimensi baru untuk penyesuaian zaman.
Sejak awal kemerdekaan hingga 1980-an
Menurut catatan sejarah, awal mula penjaja syariat Islam di Indonesia dimulai dari munculnya organisasi Darul Islam (DI) dengan pimpinannya bernama Kartosoewirjo sekitar 1949. Kelompok ini berusaha memerangi orang-orang yang menolak penerapan syariat Islam di Indonesia pada era sesudah masa revolusi. Kartosoewirjo kemudian bergerilya selama belasan tahun di hutan Jawa Barat dan berjuang bersama pasukannya.
Menurut Solahudin dalam buku ‘NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia‘ (2011) semangat Kartosoewirjo telah menyala sejak 1920-an saat ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Alasannya berbalik memerangi pemerintah Indonesia karena Pemerintah dianggap kafir oleh sebab penolakan syariat Islam. Munculnya paham jihad DI/TII yang ekstrim membuat mereka mulai memusuhi warga sipil juga.
Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. Gerakan ini sempat berkembang di beberapa daerah, dengan kemunculan Amir Fatah di Jawa Tengah, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh yang semuanya berkeinginan bergabung dengan NII.
Karena melawan NKRI, Kartosoewirjo ditangkap tentara RI pada Juni 1962. Pada 1970-an gerakan ini dihidupkan kembali oleh tokoh-tokoh DI yang masih tersisa. Aktivitas mereka kemudian diketahui Pemerintah dan penangkapan besar-besaran dilakukan pada awal 1977.
Awal 1981 muncul periode baru yang dinamakan Komando Jihad. Menjelang pemilu 1977 para pemimpin Komando Jihad berhasil ditangkapi oleh Orde baru di bawah instruksi BAKIN dan Ali Moertopo dengan tuduhan mereka ingin mendirikan NII gaya Baru.
Islam modernis mulai direkrut dan munculnya Transnasional
Setelah berhasil dipadamkan, pada 1987 Komando Jihad berkonsolidasi kembali dan kaum Islam modernis mulai direkrut. Pelbagai faksi dalam DI lalu memutuskan mengangkat Ajengan Abdullah Masduki sebagai Imam Baru DI.
Salah seorang yang masuk ke DI adalah Abdullah Sungkar, pengurus Pesantren Al Mu’min, Ngruki, Sukoharjo. Ia penganut paham salafi yang memperkenalkan sistem pendidikan yang bersih dari bidah. Adanya perselisihan di tubuh DI menyebabkan Sungkar dan kawan-kawannya keluar dari DI 1992. Setahun kemudian ia mendirikan organisasi Jamaah Islamiyah yang sifatnya transnasional dan wilayah aksi kekerasannya mulai melingkupi wilayah Asia Tenggara.
Selain kelompok penjaja negara dan penegakkan syariat Islam dengan kekerasan, Indonesia juga mulai dimasuki oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Induk organisasinya didirikan pada 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani di Palestina. Gerakan politik ini mengusung penegakan sistem khilafah al-Islamiyah.
Berbeda dengan awal kemunculan Darul Islam yang masih mengakui batas-batas negara, gerakan ini justru bersifat transnasional. Bagi mereka, konsep negara-bangsa adalah Islam yang wilayahnya disebut dar al-Islam. Sementara wilayah di luar itu disebut wilayah kafir (dar al-kufr).
Organisasi ini tidak mengedepankan kekerasan. Namun, karena ideologinya berseberangan dengan konsep negara-bangsa yang dianut Indonesia, maka organisasi ini akhirnya dibubarkan pemerintah.
Pendapat mengenai Khilafah di era terkini
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dalam kuliah umum Lemhanas Dikotomi nasonalis dan agamis (9/7/20) pernah menyatakan bahwa masyarakat Indonesia beragama Islam tidak boleh membawa paham khilafah ke dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang didasarkan pada Pancasila, UUD 1945 dan dalam bingkai Negara kesatuan RI (NKRI). Penerapan Khilafah, menurutnya pelanggaran atas kesepakatan keindonesiaan sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, khilafah bukan satu-satunya yang Islami, karena ada kerajaan yang Islami seperti Arab Saudi, model Emirat yang Islami seperti Abu Dhabi, Kuwait dan Qatar. Sledangkan republik yang Islami selain Indonesia adalah Pakistan, Mesir dan Turki. Ma’ruf Amin juga menekankan pentingnya pemahaman konsep tentang ‘muslim dari Indonesia dan Indonesia yang muslim’ di Indonesia.
Oman Fathurahman, dosen UIN Syarif Hidayatullahikut menambahkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan Islam menurutnya memang tidak menunjukkan khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan. Khilafah yang dimaksud menurutnya hanyalah serangkaian nilai-nilai dan bukan sistem pemerintahan.
Menurut Sumanto Al Qurtubi, sistem khilafah tidak selalu seideal yang selalu bayangkan. Sejarah memperlihatkan hal ini. Dalam operasional upaya menjunjung syariah Islam, tidak sedikit kisah cerita dan penjelasan yang menunjukkan aksi-aksi keburukan, kejahatan, kekejaman dan penindasan yang juga ikut dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan khalifah di masa lalu tersebut.
Kemal Ataturk menghapus secara resmi sistem khilafah pada 1924. Namun sejak itu ide-ide pendirian masih terus mengemuka. Lebih jauh, muncul pula berbagai tafsir dan pendapat yang berbeda-beda dan berseberangan mengenai gagasan dan konsep khilafah. Ini karena ulama dan kelompok keislaman dari berbagai aliran banyak yang kemudian ikut terlibat, termasuk mereka dari golongan Sunni dan Syiah.
Menurut Hugh Kennedy dalam karyanya “Caliphate: the History of an idea.” bukan hanya ide tentang khilafah saja yang berbeda, tapi juga soal mekanisme sistem politik kekhalifahan serta proses pemilihan khalifah pemegang otoritas tertingginya yang belum ada kesepakatan hingga kini.
Perbedaan pandangan dalam memperjuangkan tujuan politik di antara mereka juga cukup tajam. Ada yang memandangnya sebagai gerakan poitik global transnasional. Ada pula yang hanya ingin berkonsentrasi pada skala lokal atau regional. Selain itu, ada yang menolak kekerasan, namun tidak sedikit yang sudi melakukan apapun untuk mencapai tujuannya termasuk melakukan kekerasan, ekstremisme dan terorisme.
Intinya, sampai sekarang tidak ada kesepakatan di antara para penggaung ide-ide khilafah baik dalam segi pandangan, metode, pendekatan, taktik, motivasi dan tujuan akhir. Kecenderungannya justru malah terjadinya saling konflik di antara mereka. Selama ini dikethaui saling konflik dan serang sering terjadi antara ISIS dengan Jabhat Al Nusrah, atau Isis dengan Al Qaedah.
Kesultanan Nusantara bagian dari Khilafah?
Upaya membuat legitimasi bahwa khilafah di Indonesia bisa ditarik mundur sampai masa kesultanan sebelum abad ke-20 di Indonesia antara lain menunjukkan fenomena semakin mendalamnya dorongan untuk mengubah sejarah Islam di Indonesia agar bisa mudah dimaknai dalam konteks kekhalifahan bagi pengikut khilafah di Indonesia.
Sebuah film berjudul Jejak Khilafah yang membuat legitimasi tentang sejarah khilafah di Indonesia diproduksi pada tahun 2000 dan sempat menjadi viral dan menjadi perbincangan luas. Film ini dianggap sebagai hasil khayalan ngawur yang kebenarannya langsung dibantah oleh sejarawan. Prof Peter Carey mengatakan bahwa film ini menurutnya ditelurkan untuk kepentingan propaganda ketimbang tujuan dokumenter. Materinya sama sekali tidak didukung data atau arsip kesejarahan yang valid, terutama terkait hubungan Diponegoro maupun kesultanan-kesultanan Islam di Jawa sebelumnya Turki Utsmani.
Filolog dan dosen UIN Syarif Hidayatullah Oman Fathurahman ikut mendukung pendapat tersebut. Dalam dialog sejarah ‘khilafah di Nusantara Benarkah ada jejaknya” (25/8/20) ia menyangsikan kesultanan-kesultanan di Nusantara pernah menjadi bagian dari sistem pemerintahan Khilafah.
“Bahwa Nusantara mempunyai jejak-jejak peradaban Islam dari Turki, Mesir, Islam dari Timur Tengah, sangat ada.” Katanya. Jelaslah bahwa munculnya film dan tekanan untuk membuat klaim sejarah untuk membuat keabsahan eksistensi khilayah di Indonesia menunjukkan bahwa medium apapun kini bisa digunakan untuk terus memperjuangkan dan menghidupkan sistem Khilafah. Agar menjual dan menarik, mereka selalu mengemas perjuangan atas isu-isu hangat dan mendesak mengenai perjuangan ekonomi dan kesejahteraan kaum muslimin yang hanya dapat diperjuangkan lewat konsep khilafah transnasional.
Untuk alasan tersebut, aktivitas pengikutnya yang semakin maya dan transnasional serta kemasan pesan yang selalu relavan harus menjadi alasan untuk senantiasa dimonitor dan diwaspadai bila tidak ingin muncul dan bertumbuh lebih kuat di Indonesia. (Isk- Dari berbagai sumber)