Jakarta –
“Dari kebudayaan bisa saja kita berbeda. Dari agama dan warna kulit bisa saja berbeda. Seharusnya perbedaan ini tak membuat kita berbeda. Kenyataan sudah membuktikan soal kita sama.” Itulah satu di antara sekian banyak kalimat bijak musisi legendaris Iwan Fals.
Sebagai nasehat, patutlah kiranya hal itu kita renungkan bersama. Sudah terlalu sering selama ini, dalam keseharian kita hanya ribut tentang perbedaan. Baik suku, agama, dan aspek primordial lainnya. Seakan lupa, itu semua adalah sunnatullah, telah menjadi keniscayaan dalam kehidupan kita. Apalagi jika segala perbedaan itu telah ditarik dan memasuki area politik, kepentingan golongan yang selalu dikedepankan. Kebhinekaan dikorbankan. Bhinneka Tunggal Ika pun tinggal slogan belaka.
Kita lihat saja, betapa isu seputar “suksesi” Kapolri akhir-akhir ini telah sedemikian jauhnya. Komjen Listyo Sigit Prabowo, seorang Katolik yang taat itu, telah “dicurigai” membawa agenda tersendiri. Dia yang menjadi calon tunggal Kapolri, telah diajukan oleh Presiden kepada DPR RI, sampai diisukan akan melakukan “kristenisasi” jika menjadi Kapolri nanti.
Menurut saya, spekulasi itu sangatlah berlebihan. Justru, jika hal ini dibiarkan, akan bisa merobek keharmonisan di saat kita semua tengah bersusah payah terus menjahit persaudaraan kebangsaan. Beruntunglah dua pimpinan ormas terbesar, Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj dan Sekum Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti, menyampaikan pesan menyejukkan dan mencerahkan. Bahwa penunjukan Kapolri, selain merupakan hak prerogratif Presiden –tentu dengan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan integritas, kapabilitas dan profesionalitas– yang terpenting justru harus menjamin penegakan hukum dan keamanan masyarakat.
Tampak jelas, kedua pentolan ormas tersebut lebih mengedepankan persoalan mendasar yang seharusnya menjadi agenda dan komitmen kita bersama.
Fakta Sejarah
Sebenarnya Komjen Listyo bukanlah satu-satunya non-muslim untuk posisi Kapolri. Dalam sejarahnya, institusi ini pernah dipimpin Jenderal Widodo Budidarmo (1974-1978), seorang yang beragama Kristen. Teman seangkatan Jenderal Hoegeng –yang lulus dari PTIK pada 1955– itu dianggap sebagian kalangan sebagai polisi tegas dan lurus. Dia tak segan-segan menyerahkan putranya sendiri untuk diproses secara hukum karena insiden pistol dinas yang menewaskan sopirnya. Dia juga yang saat itu membiarkan beberapa perwira polisi dipidanakan karena kasus korupsi.
Jika Komjen Listyo dianggap masih terlalu muda, justru Jenderal Widodo lebih muda sebenarnya. Saat dilantik menjadi Kapolri, umurnya baru 47 tahun. Lebih muda lagi, Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo yang –oleh Presiden Soekarno saat itu– dilantik menjadi Kapolri pada usia 44 tahun. Ini juga dianggap sebagai Kapolri non-muslim. Meskipun sebenarnya beda. Dia baru berpindah agama pada tahun 1981. Sementara saat menjabat Kapolri (1964-1965) dia masih tetap muslim.
Salahkah seorang non-muslim memegang jabatan penting di negara yang mayoritas muslim? Sebenarnya tak ada yang menyalahkan. Dalam konstitusi juga tak mengatur soal agama tertentu. Mungkin hanya semacam kelaziman bahwa sebaiknya pucuk pimpinan Polri tetap seorang muslim. Apalagi kondisi saat ini, wabil-khusus berkaitan dengan “keadilan” yang dirasakan publik di tengah berbagai gelombang isu kriminalisasi ulama, dlsb. Ini juga wajar, karena sesuai dengan “suara” mayoritas. Tetapi malah semakin tak wajar sebenarnya ketika secara terbuka disampaikan bahwa faktor agama menjadi lebih dipersyaratkan, sementara integritas dan lain sebagainya dinafikan. Pandangan seperti itu justru berbahaya karena akan melahirkan tirani mayoritas. Inilah yang membahayakan prinsip keadilan itu sendiri.
Terus terang, saya bukan hanya setuju dengan pandangan Abuya Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani. Bahkan sikapnya sangat tegas, akan berdiri di belakang Kapolri nanti. Tentu, kiai kharismatik ini tak sembarangan bersikap. Pertimbangan juga sangat matang, tak lepas dari kepemimpinan Komjen Listyo saat menjabat Kapolda Banten. Dia yang awalnya ditolak di sana, tapi dengan pendekatan humanisnya, justru sangat dikenang karena dia bahkan ikut mendorong pengajian kitab kuning terus digalakkan.
Yang harus dipahami sebenarnya, Indonesia ini bukan negara agama. Sehingga muslim yang mayoritas sekalipun seharusnya memberikan hak yang sama, kepada siapa saja! Bahkan sudah seharusnya lebih “mengayomi” sesama warga bangsa. Di sinilah, terus terang, saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Abuya Muhtadi. Mufti Syafi’iyyah nasionalis dari Banten ini haruslah diteladani.
Dalam sejarah Islam, sebenarnya ada contoh menarik yang bisa dipetik. Tentu kita semua tak asing dengan Muawiyah bin Abu Sufyan (602-680 M), Khalifah Islam setelah Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Terus terang, kita tidak akan membahas segala kontroversinya, terutama catatan kelam yang telah menjadi “dendam” sejarah di kalangan Syiah. Tapi bagaimanapun, di kalangan Sunni khususnya, Muawiyah tetap dihormati. Dia Sahabat Nabi Saw, juga meriwayatkan puluhan hadits. Sejarawan Inggris Barnaby Rogerson (2006) menyebutnya sebagai “Panglima militer yang brilian, Caesar-nya bangsa Arab.” Dialah orang pertama yang membangun Angkatan Laut Muslim. Dia pula Panglima Muslim pertama yang menaklukkan Konstantinopel (sekarang Istambul), ibu kota Kekaisaran Romawi saat itu.
Muawiyah yang mengawali karir politiknya sebagai Gubernur Syiria pada usia 37 tahun –saat kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab– itu dianggap sebagai pemimpin yang tangguh. Pemerintahannya lebih mengedepankan kecakapan dan kesetiaan. Saat membangun armada laut, misalnya, dia tugaskan tenaga ahli kapal kepada para pekerja Kristen pribumi Suriah. Dokter pribadi dan penyair istananya juga orang Kristen. Tak hanya itu, kepala administrasi fiskal-nya pun seorang Kristen, yaitu Mansur bin Sarjun. Dia tercatat sebagai pejabat Kristen Melkite yang paling favorit, 50 tahun bertahan dalam jabatannya itu.
Apa artinya? Jika Muawiyah yang pemimpin Muslim dan jelas-jelas di bawah kekhalifahan Islam saja tidak “alergi” seperti itu, kenapa –setelah 15 abad lamanya– di negara Pancasila yang sudah lebih maju peradabannya, kita tak pernah kunjung bersikap dewasa? Ini kemunduran sejarah namanya. Saya tidak menyatakan apa yang dilakukan Muawiyah itu sebagai “ajaran” yang harus dibenarkan dan dipraktekkan atau, sebaliknya, bahkan disalahkan dan ditinggalkan. Bukan di situ masalahnya. Tetapi sebagai fakta sejarah, bagaimanapun hal itu tak mungkin kita ingkari.
Menyamakan Frekuensi
Sebagai calon tunggal Kapolri, Komjen Listyo dapat dipastikan tinggal selangkah lagi memegang tampuk kepemimpinan Polri. Jika berbagai pihak telah banyak mengakui keunggulannya, tentu Presiden Jokowi sudah sangat mempertimbangkan dengan seksama, melihat rekam jejak pengabdian dan integritasnya.
Saya kira, bukan karena dia mantan ajudan Presiden semata yang menjadi ukurannya. Bahwa sebagai orang yang pernah sangat dekat dengan Presiden, sewajarnya bila dia paling dipercaya. Tetapi, menurut saya, bukan di situ letaknya. Justru yang paling penting saat ini, bagaimana menyamakan frekuensi Presiden Jokowi dengan seluruh pembantunya. Tak lain, agar frekuensi gerakan dapat membawa perubahan yang berarti, lebih efektif, tepat sasaran, dan dapat dirasakan. Inilah yang selalu didengungkan Presiden Jokowi selama ini.
Karena bagaimanapun, problem bangsa ini semakin kompleks. Tak sedikit persoalan yang harus diselesaikan. Kita tidak saja dihadapkan pada persoalan pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan usai. Masalah terorisme, radikalisme, intoleransi, dan korupsi, juga menjadi agenda utama yang harus mendapatkan perhatian seluruh komponen bangsa. Itulah persoalan kita sebenarnya. Disini, tugas Polri tidak makin sederhana. Ia harus tampil di garda depan.
Untuk itu kita sepakat, institusi ini harus semakin kuat, solid, juga terpercaya.
Tahun lalu, Cyrus Network merilis hasil survey persepsi publik tentang lembaga-lembaga negara. Memang untuk TNI dan Lembaga Kepresidenan masih pada posisi teratas. Namun yang menarik, untuk pertama kalinya survey menemukan bahwa penilaian publik terhadap Kepolisian jauh lebih baik dibanding terhadap KPK. Baik sebagai institusi yang kuat, solid, maupun tingkat kepercayaannya. Tentu, ini menarik dan menggembirakan.
Meski demikian, hal itu harus tetap dipertahankan dan bahkan terus ditingkatkan. Karena sewaktu-waktu hasil survey bisa berubah, seiring dengan perubahan situasi dan keadaan itu sendiri. Maka, dalam konteks ini kita perlu mendorong kepemimpinan Polri lebih baik lagi. Kepemimpinan yang dapat mewujudkan Polri berintegritas ke depan.
Menyamakan frekuensi dapat dimulai dari yang paling mendasar, bagaimana menciptakan “zona” integritas, suatu kondisi dimana pimpinan dan seluruh jajaran Kepolisian mempunyai tekad dan komitmen yang sama. Satunya kata dan perbuatan. Contoh sederhana misalnya, bagaimana menghilangkan pungli dan percaloan di setiap unit pelayanan, menghindari gratifikasi, serta tidak ada lagi diskriminasi, adalah persoalan yang tak boleh disepelekan.
Selain itu, meniadakan segala bentuk gangguan keamanan; menjaga keselamatan jiwa, raga, harta benda, dan hak asasi manusia; menjamin kepastian hukum; serta memelihara perasaan tenteram dan damai. Itu semua sudah sangat terang, bahkan mungkin hapal di luar kepala, karena telah menjadi komitmen utama sebagaimana Catur Prasetya Polri. Tetapi, bagaimana mewujudkannya secara nyata, di situlah tantangannya.
Tentu, kita tak boleh hanya menunggu. Justru partisipasi masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi, agar Polisi makin dicintai. Akhir kata, selamat bertugas, Jenderal.
Kalisuren, 19 Januari 2021
Idham Cholid
Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (JAYANUSA); aktif di Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)
(hri/hri)