Site icon InformasiBerita

Terorisme: Aliran Dana dan konten Media Sosial di Indonesia

Jakarta, (6/2/2021) Mabes Polri diberitakan telah menangkap dan memeriksa seorang perempuan warganegara Inggris bernama Tanzeen Miriam Sailar pada Rabu (3/2/2021). Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menjelaskan, bahwa selain alasan masalah ijin tinggal yang ilegal, penangkapan tersebut karena tuduhan adanya aliran rekeningnya yang masuk ke FPI.  Sebagaimana dilaporkan, Tanzeen adalah istri Asep Ahmad Setiawan alias Abu Ahmad, seorang anggota teroris Jamaah Islamiyah (JI) yang meninggal di Suriah pada 2014 silam.

Komitmen untuk menindak tegas kelompok teroris termasuk eks anggota FPI sudah dinyatakan Karo Penmas Div Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono (5/2/2021). Karenanya, hasil kerja Densus 88 diharapkan bisa menentukan tindakan pidana/pertanggungjawaban hukum apa yang ditimpakan bila terbukti. Sementara menunggu hasil analisis rekening FPI dari PPAT, temuan yang mengaitkan antara organisasi terorisme terlarang dengan FPI merupakan temuan serius yang harus ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.

Kasus aliran rekening tersebut, selain mengindikasikan FPI ada kaitannya dengan Jamaah Islamiya, juga  bisa membawa penyelidikan pada pada masalah-masalah pendanaan  terhadap kelompok radikal dan terorisme yang sering sulit dilacak.

Pembusukan Polisi di Media Sosial

Upaya Polri mengungkapkan alasan melibatkan Densus 88 saat gelar perkara kasus rekening FPI tersebut langsung menimbulkan respon luas netizen di media sosial yang merupakan simpatisan FPI.  Banyak netizen yang langsung melancarkan upaya-upaya pendeskriditan pihak kepolisian dengan komen beragam dan tajam. Mereka menciptakan hashtag trendy dengan tuduhan-tuduhan yang bervariasi sebagai bagian dari

upaya pembusukan terhadap Polri.

Disebutkan bahwa, polisi sedang menciptakan drama dan pembusukan nama baik FPI dan MRS dan sebenarnya Polru mengincar dana FPI yang sudah dibekukan. Petinggi Polri di pusat dianggap sudah kelewat batas, hanya berani ‘nongol’ sesudah pesta usai lalu melakukan provokasi, penghinaan, ‘playing victim’ dan melakukan politik adu-domba. Diciptakan seolah-olah polisi sedang sibuk berpolitik praktis untuk menutupi banyak dari anggotanya sendiri yang menambang kejahatan dan korupsi. Tidak sedikit dari mereka mengajak orang agar tidak termakan provokasi polisi.

Respon negatif tersebut kemudian juga di-counter oleh tidak sedikit netizen yang mendukung upaya Polri yang sudah melakukan pendekatan presisi seperti yang digariskan oleh Kapolri baru. Beberapa menyambut gembira bahwa ‘satu-persatu teka-teki aliran dana yang masuk ke FPI selama ini terkuak.  Masyarakat juga diajak untuk turut membantu TNI/Polri melawan narasi-narasi yang sengaja dilontarkan sebagai bagian dari upaya pembusukan yang datang dari gerombolan radikalis.

FPI, golongan Radikal dan Terorisme

Pada 6 Januari 2021, diberitakan sejumlah terduga teroris berhasil ditangkap tim detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Salah seorang di antaranya, Ahmad Aulia (30) merupakan terduga teroris dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Ahmad memberi pengakuan bahwa ia berada di tengah pembaiatan massal Islamic State (IS) bersama 100 simpatisan dan laskar FPI, di hadapan Munarwan, mantan Sekretaris umum FPI.

Hubungan FPI dengan kelompok radikal memang sudah lama ditengarai para ahli masalah terorisme dalam dan luar negeri. Menurut laporan analisa jaringan terorisme internasional, sudah lama ada jaringan luas organisasi-organisasi di Indonesia yang dijadikan Jamaah Islamiyah untuk dengan mudah merekrut anggota-anggota baru yang ekstrim, seperti dari organisasi-organisasi seperti Jamaah Anshurat Tauhid (JAT), Jamaah Anshorusy Syariah (JAS) maupun FPI.

Ketua Pelaksana Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto pernah secara terang-terangan menjelaskan hubungan Jamaah Islamiyah dengan FPI. Seperti tampak pada wawancara youtube-nya website Medcom.id. Ia mengatakan ada 37 anggota atau bekas anggota FPI yang jelas terlibat terorisme di Indonesia. Kebanyakan  yang terlibat, terbukti bergabung dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau  Mujahidin Indonesia Timur.

Informasi tersebut jelas menjadi data yang juga digunakan untuk membubarkan FPI.

Menurut Menkopolhukam Mahfud, FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum. Dan dalam SKB  3 menteri itu, ada  keterlibatan 35 orang pengurus, anggota, atau orang yang pernah tergabung FPI dalam tindak pidana terorisme. Sebanyak 29 orang di antaranya telah divonis hukuman pidana.  Ditambahkan bahwa, walau FPI bukan organisasi teroris namun dalam AD/ART FPI jelas-jelas ada keterangan keinginan mendirikan negara khilafah.

Pihak kepolisian telah mampu membuktikan bahwa 35 orang anggota FPI  terlibat aksi terorisme di Indonesia dan untuk memperkuat hal itu, Pemerintah menyodorkan bukti dukungan FPI terhadap kelompok teroris ISIS lewat cuplikan video berdurasi tiga menit yang memperlihatkan dukungan Rizieq terhadap ISIS dan Abu Bakar Ba’asyir.

Landasan hukum penanggulangan terorisme

Terorisme adalah tindakan kriminal dan amat ditentukan operasionalnya oleh segi pendanaan. Sebenarnya landasan hukum sudah ada meski penerapannya masih harus ditingkatkan. Tuntutan pidana terorisme diatur dalam UU No. 15/ 2003 yang menetapkan Perpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU No. 8/2010 ditetapkan untuk Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan  UU No. 9/ 2013 mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Meski demikian, upaya penanggulangan terorisme oleh institusi keamanan nasional masih dianggap  memiliki kelemahan. UU No.15/ 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dianggap belum solid untuk memayungi kegiatan operasi intelijen pencegahan dan tindakan proaktifnya.

Pemerintah membentuk  Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sebagai bagian integral Kebijakan Nasional Penanggulangan Terorisme. BNPT dibentuk sebagai elaborasi UU No.34/2004 tentang TNI dan UU No.2/2002 tentang Polri, mengatur ketentuan rinci tentang “Rule of Engagement” (aturan pelibatan) TNI, terkait tugas operasi militer selain perang, termasuk aturan pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dan tugas perbantuan TNI terhadap Polri. Aturan ini mengatur prajurit TNI akan berperan dalam upaya preventif terorisme,  lewat bantuan kepada kepolisian dalam koridor fungsi dan tugasnya secara efektif.

Penanggulangan Terorisme

Bagaimana hasil penanganan terorisme di Indonesia selama ini? Secara umum sudah ditangani baik secara internal maupun eksternal. Penegakan hukum menjadi bagian dari upaya internal dengan prinsip ‘hard power’ maupun ‘soft power’. Hard power diterapkan melalui penegasan keterlibatan TNI dan Polri seperti diterangkan di atas. Sedangkan prinsip ‘soft power’ termanifestasikan dalam program deradikalisasi.

Upaya eksternal ini sudah dilakukan secara bilateral dan multilateral dalam lingkup regional dan inernasional lewat banyak forum internasional seperti ASEAN, APEC, ASEM dan seterusnya. Pendirian Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) misalnya, merupakan bentuk kerjasama bilateral Indonesia dengan Australia  sesudah terjadinya bom Bali dan memfokuskan kegiatan pada pelatihan penegak hukum penanggulangan terorisme dari 70 negara. Indonesia juga sudah tercatat sebagai anggota Asia-Pacific Group on Money Laundering, menandatangani MoU dengan lebih dari 46 Financial Intelligence Unit, menandatangani Bilateral Joint Working Group on Counter-Terrorism (khususnya dengan BNPT), dan Intelligence sharing, capacity building dan technical cooperation. 

Penanggulangan terorisme dengan pendekatan di atas mendatangkan hasil yang cukup bagus, seperti tertangkapnya pelaku terorisme Dr. Azahari dan Abu Dujana pada 2005 dan 2007. Pada 2006 Polri juga sudah berhasil melakukan penggerebekan tempat persembunyian anak buah Noordin M.Top di Wonosobo, yaitu Jabir, Abdul Hadi (kepercayaan dr. Azhari), Solehudin dan Mustarifin. Pada 2008 berbagai operasi Densus 88 atau Bareskrim Polri juga berhasil menangkap 28 pelaku terorisme di Indonesia. Pada 2009 Polri menangkap tersangka kelompok teroris di Palembang, Lampung dan Jawa Tengah yang terlibat rencana aksi teroris dalam dan luar negeri. Terbunuhnya teroris yang diduga sebagai Nurdin M.Top dalam sebuah penyergapan di desa Beji Temanggung, merupakan kunci keberhasilan aparat keamanan dalam pengungkapan peledakan Hotel Ritz-Carlton dan J.W. Marriot  pada 17 Juli 2009.

Pentingnya Deradikalisasi

Namun demikian, tugas pemberantasan terorisme masih belum tuntas dan masih tetap memerlukan kewaspadaan di masa sekarang dan ke depannya. Indonesia tidak akan menjadi imun dari ancaman kejahatan terorisme yang semakin kompleks dimensinya dan menghawatirkan secara trans-nasional. Aktor dan aksi terorisme juga semakin canggih dalam menembus batas-batas antar negara  itu dan setinggi-tingginya memanfaatkan penggunaan media dan teknologi.

Banyak pengamat yang menyatakan bahwa ada kecenderungan kelompok teroris memanfaatkan situasi pandemi sekarang ini untuk bertumbuh, baik di dalam maupun luar negeri. Mereka sangat pandai memanfaatkan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah pasca pembubaran FPI sehingga membuka jalan bagi usaha perekrutan golongan radikal secara efektif.

Ian Wilson, pengamat kelompok radikal di Indonesia dari Universitas Murdoch Australia menyatakan bahwa bekas pengikut FPI yang militan sudah tersebar luas di mana-mana. Mungkin sebagian dai mereka benar-benar mencampak organisasi ini untuk selama-lamanya, namun di pihak lain tidak sedikit yang berpotensi membuat anggota menjadi lebih radikal dari sebelumnya dan mencapai daerah-daerah yang lebih luas.

Itulah sebabnya, pendekatan penanggulangan lewat deradikalisasi merupakan bagian strategi kontra terorisme  strategis yang harus dipertimbangkan penegak hukum termasuk kepolisian. Tujuannya agar ideologi kelompok teroris dapat berubah drastis dari radikal menjadi tidak radikal atau menjauhkan mereka dari kelompok radikal tempat mereka bernaung.

Deradikalisasi terorisme dilakukan antara lain lewat program reorientasi motivasi, re-edukasi, resosialisasi dan  mengupayakan kesejahteraan sosial dan kesetaraan mereka dengan masyarakat lain bagi yang terlibat terorisme maupun simpatisanya.  Alif  Satria, seorang pengamat Studi keamanan dari Georgetown University  juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa hanya menggantungkan harapan hanya pada upaya operasional kepolisian yang agresif  tapi harus mencabut organisasi-organisasi radikal sampai ke akar-akarnya, karena mereka memiliki basis yang kuat dan dalam di masyarakat dan kepada pemimpin politik mereka.  Sesudah pembubaran FPI, pemerintah Indonesia perlu juga bekerja keras  untuk mengkaunter retorika dan ideologi di kalanan  masyarakat yang masih menjadi pendukung-pendukungnya.

Cara kerja baru jaringan terorisme

Posisi ISIS di pusat-pusatnya Suriah dan Irak) sudah semakin tersudut akibat serangan militer secara kontinu dan silih berganti selama ini. Para pengikut ISIS juga kian tersudut posisinya Asia Tenggara terutama sejak Kota Marawi direbut angkatan bersenjata Filipina. Tetapi, perkembangan itu belum tentu menggembirakan dan berarti ISIS telah berakhir. Ancaman terorisme yang  mereke ciptakan justru bisa menjadi lebih berbahaya dan besar.

Pertama, kampanye ideologi dan perekrutan anggota baru tampak masih terus berlangsung. Aksi-aksi terorisme masih dilancarkan berbagai negara. Modus operandi ISIS memang berubah namun ini karena disesuaikan dengan perkembangan situasional strategik yang  mereka hadapi. Pasca-jatuhnya Mosul dan Raqqa serta Marawi, serangan mereka memang tampak berkurang, namun sebaliknya aksi-aksi lone wolf tidak berhenti  termasuk di Indonesia. Kontrol keamanan yang diberikan aparat kepolisian nasional (Polri) memang semakin baik karena bersinergi dengan aparat militer namun itu masih jauh dari memadai. 

Aksi dari organisasi-organisasi terorisme generasi ke-3 kini tidak saja dilakukan oleh individu-individu tapi juga melibatkan juga pihak keluarga dan makin menggunakan sarana media sosial dan sebagainya diungkapkan dari laporan-laporan aksi terorisme lokal di Indonesia. Menurut Friska Alexandra dari Centre for Strategic and Internasional studies, mereka sekarang sangat pandai memanfaatkan teknologi komunikasi internet untuk mengajak atau merekrut orang melakukan aksi teror, memberi petunjuk pembuatan cara pembuatan bom atau aksi-aksi teror lainnya. Usaha mereka juga banyak menyasar pada pemuda-pemuda pandai yang sedang belajar di pesantren-pesantren. Tidak jarang usaha mereka berhasil merekrut kalangan kelas menengah yang terpelajar, kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok kelas menengah yang tidak pernah terfikirkan  masuk organisasi terlarang dan radikal.

Sosmed dan pengumpulan dana untuk aksi terorisme

Salah satu elemen terorisme yang juga harus diwaspadai adalah cara baru mereka mendanai aksi-aksi terorismenya. Sylvia Laksmi dari Universitas Nasional Australia (ANU) menyatakan bahwa telah ada perubahan cara-cara kelompok terorisme di Indonesia didanai.

Tindakan Polri bekerjasama dengan pihak PPATK jelas tepat dalam memerangi terorisme di era baru penuh tantangan ke depannya ini. Menurutnya, organisasi terorisme sekarang mulai menggunakan cara-cara yang legal bagaimana mendapatkan uang demi pendanaan mereka. Hal itu antara lain dilakukan lewat penggunaan sosmed seperti Facebook, Telegram atau Twitter. Salah satu modusnya menciptakan kegiatan kemanusiaan dan relijius. Mereka menciptakan cara untuk melakukan komunikasi demi merekrut simpatisannya, antara lain lewat penjualan obat, jamu, herbal, biro perjalanan, penerbitan dan sebagainya. Cara ini digunakan untuk mengelabui pihak berwajib  mengidentifikasikan mereka sebagai golongan teroris.

Dana yang terkumpul, baik kecil atau besar kemudian diberikan kepada kelompok radikal seperti yang terbukti dari hasil pengadilan atas tersangka teroris yang berhasil ditangkap dan diinterogasi. Inilah salah satu elemen yang harus diwaspadai oleh pemerintah. Caranya  dengan mengedukasi masyarakat langsung maupun tidak langsung. Secara aktif Pemerintah sudah mulai menjalin kerjasama dengan badan-badan keunagan internasional dan forum antar lembaga keuangan, serta training-training untuk mengatasi elemen pendanaan demi terorisme. Pemerintah juga seyogyanya mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam menggunakan sosmed dan perlu verifikasi sebelum terjebak untuk berhubungan dengan mereka. (ISK/dari berbagai sumber)

Author

Exit mobile version