Jakarta – Mendekati era baru dalam pelayanan masyarakat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tengah gencar mengubah citra mereka. Aktivitas reformasi dan modernisasi dalam tubuh Polri bukan sekadar slogan kosong. Ini adalah janji yang disertai aksi nyata, terlihat dari berbagai strategi inovatif yang telah dilaksanakan. Tuntutan akan peningkatan kualitas layanan Polri menjadi kunci dalam membangun kembali kepercayaan publik yang perlu diteguhkan melalui transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar.
Masyarakat telah lama mendambakan Polri yang tidak hanya mampu bertindak sebagai penegak hukum tetapi juga sebagai lembaga yang berempati dan memahami dinamika sosial. Strategi komunikasi yang ditonjolkan oleh Polri belakangan ini memperlihatkan upaya intensif untuk mengharmonisasi interaksi dengan masyarakat, menghapus stigma negatif tentang pungutan liar (pungli) dan kesan arogansi yang kerap melekat pada institusi ini.
Dalam melakukan transformasi ini, Reformasi Polri memainkan peranan vital. Pencanangan modernisasi infrastruktur dan peralatan menjadi pondasi peningkatan mutu layanan, seiring dengan penjaminan akuntabilitas internal yang lebih ketat. Melalui pendekatan holistik, unsur-unsur fundamental yang tak hanya terbatas pada kemajuan teknologi tetapi juga pada peningkatan kapabilitas sumber daya manusia serta perubahan peraturan dan kebijakan telah turut mendefinisikan roadmap dari modernisasi Kepolisian Indonesia.
Persepsi masyarakat terhadap Polri tak terbendung memasuki fase positif. Terbukti dari berbagai survei dan tanggapan publik yang mencatat adanya peningkatan kepercayaan publik pada Polri. Landasan solid untuk citra positif ini adalah transparansi dan akuntabilitas yang kini diusung lebih serius. Polri telah berkomitmen pada penerapan tata kelola yang baik, mulai dari peningkatan kualitas penyelidikan dan penegakan hukum hingga intervensi pada kasus-kasus yang menuntut keadilan sosial.
Namun, tranformasi citra bukanlah pekerjaan yang singkat atau mudah. Mengubah pandangan yang telah terlanjur terbentuk membutuhkan upaya yang konsisten dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Polri tidak hanya berfokus pada perubahan internal, tetapi juga berupaya menghadirkan citra baru tersebut ke dalam keseharian masyarakat melalui pelbagai kanal komunikasi.
Peran media dan teknologi informasi menjadi sangat signifikan dalam upaya mengubah citra Polri. Penggunaan media sosial yang proaktif dan responsive, pengembangan aplikasi layanan kepolisian yang ramah pengguna, serta penyelenggaraan forum diskusi publik, adalah aksi konkret yang telah dan terus dijalankan demi mendekatkan Polri dengan masyarakat luas.
Transformasi citra Polri yang sedang berlangsung ini merupakan momentum penting bagi Indonesia. Peningkatan kepercayaan masyarakat, yang bertumpu pada reformasi substantif, modernisasi fasilitas dan SDM, serta transparansi yang meningkat, adalah sinyal bahwa Indonesia siap menuju era baru pelayanan kepolisian yang lebih humanis, adil, dan profesional. Itulah yang menjadi tulang punggung perubahan kali ini – sebuah strategi inovatif yang pada akhirnya akan membalikkan citra Polri menjadi lembaga yang dihormati dan dipercaya oleh masyarakat.
Mengubah citra negatif
Polisi profesional adalah adalah polisi yang lebih menekankan pendekatan pre-emtif dan preventif dibandingkan represif dalam penanganan Kamtibmas di suatu wilayah. Pendekatan pre-emtif merupakan upaya proaktif dan internaktif dalam rangka pembinaan, penataan dan pemanfaatan potensi masyarakat dalam upaya merebut simpati rakyat, sedangkan pendekatan preventif merupakan upaya yang bersifat pencegahan dan pengeliminiran terhadap setiap bentuk-bentuk ancaman gangguan kamtibmas dengan memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Karena itu, prasyarat utama yang harus dipenuhi agar polisi profesional dapat terwujud adalah terciptanya hubungan fungsional yang baik dan serasi antara polisi dan masyarakat. Namun hubungan ini akan terwujud apabila pencitraan masyarakat terhadap Polri positif, sehingga muncul sikap saling menghargai dan menghormati, serta saling mendukung dalam mewujudkan Kamtibmas yang kondusif.
Upaya Polri untuk mengubah citranya dari Polisi yang pada mulanya berkarakter militeristik sehingga dalam bertindak selalu menekankan pendekatan kekuasaan, menjadi Polisi yang dekat dengan masyarakat, sudah lama digulirkan. Berbagai upaya telah dilakukan demi memperbaiki citra tersebut. Bahkan, untuk membuktikan komitmen tersebut, Kapolri Jenderal Sutanto pernah menyatakan akan memeriksa dan memublikasikan kepada masyarakat setiap oknum polisi yang berperilaku negatif dan merugikan rakyat, sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi anggota Polri lainnya. Komitmen ini semakin terbukti ketika Polri, sekalipun dengan berat hati, harus memeriksa beberapa mantan petinggi karena diduga terlibat dalam suatu tindak pidana, sebuah tindakan yang jarang terjadi di masa-masa lalu.
Namun demikian, tampaknya karakter-karakter anggota Polri yang arogan, ingin dilayani, brutal, berkompromi dengan hal-hal yang menyimpang, tetap saja sukar untuk dihilangkan, terbukti dengan banyaknya kasus hukum yang menimpa aparat Polri. Pelanggaran demi pelanggaran silih berganti mengemuka. Jenis pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Polri pun tidak berubah. Dalam kondisi demikian, maka citra polisi pun semakin buruk di mata publik. Memang benar bahwa Polisi juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Namun, masalahnya adalah apakah wajar apabila polisi akan selalu jatuh ke lubang yang sama? inilah pekerjaan rumah bagi semua insan bhayangkara dalam menemukan solusinya.
Harus diakui bersama, bahwa perubahan kultural di tubuh Polri, salah satunya perubahan mental dan kepribadian anggota Polri, merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan perubahan struktural maupun instrumental. Mengubah struktur organisasi Polri atau mengubah pola pendidikan di lembaga pendidikan Polri agar lebih menonjolkan aspek pemahaman terhadap perlindungan HAM, tentunya relatif mudah dilakukan dibandingkan mengubah karakter anggota Polri agar menjadi Polisi sipil.
Kesukaran untuk mengubah karakter negatif yang ada di diri anggota Polri memang bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan mengingat karakter tersebut (militeristik) sudah tertanam dan berakar dalam jangka waktu lama, dampak dari kebijakan masa lalu, sehingga mustahil apabila diubah dalam jangka waktu singkat.
Munculnya pencitraan negatif terhadap aparat Polri tentunya menimbulkan efek negatif, yang mana publik akan meragukan kemampuan polisi dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Harapan terwujudnya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap polisi seakan “jauh panggang dari api”, jauh dari kenyataan. Padadal, selama ini publik masih mengandalkan kekuatan polisi sebagai pilar utama dalam masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.
- Beberapa upaya memperbaiki citra polisi ditengah-tengah derasnya kritikan sudah banyak dilakukan, diantaranya secara konsisten tanpa diskriminasi, diterapkannya penjatuhan sanksi tegas kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran, sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek jera. Sanksi yang tegas pada aparat yang melakukan pelangggaran harus semakin banyak diupayakan, mengingat selama ini masyarakat memandang bahwa sanki yang dijatuhkan kepada aparat Polri seringkali lemah dan berhenti hanya pada penerapan sanksi disipliner sekalipun nyata-nyata oknum polisi tersebut melakukan kesalahan besar. Upaya ini dilakukan untuk membuktikan bahwa polisi juga tidak kebal hukum. Hukuman administrasi tidak lengkap tanpa ada pertanggungjawaban pidana. Karena itu, bagi polisi yang terindikasi kuat secara yuridis dalam pemeriksaan awal melakukan penyalahgunaan jabatan dan korupsi, kasusnya harus diserahkan ke pemeriksaan pidana. Lebih jauh, para polisi nakal tersebut seharusnya mendapatkan sanksi yang lebih berat dari para pelaku pidana biasa, karena mereka adalah penegak hukum yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat.
Hal yang tidak dapat diabaikan adalah perbaikan pola perekrutan terhadap calon anggota Polri. Bukan rahasia umum, apabila sejak masa perekrutan lalu lintas uang disinyalir sudah banyak berbicara dalam proses penentuan kelulusan bagi para pelamar, belum lagi pada saat penentuan jabatan (mutasi atau promosi). Karena itu, perubahan metode, prosedur, dan proses pembinaan personal polisi harus jelas sehingga dapat menghasilkan polisi yang berkarakter profesional. Indikatornya, masyarakat akan merasakan kualitas perlindungan dan pengayoman yang diberikan oleh anggota Polri ketika masyarakat membutuhkan pelayanan.
Hal lain yang perlu dibenahi adalah optimalisasi peran masyarakat dalam mendukung tugas-tugas kepolisian. Bagaimana polisi dapat mengoptimalkan masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mengingat musuh polisi sebenarnya merupakan musuh masyarakat. Untuk itu, kerja sama antara polisi dengan masyarakat untuk menumpas “musuh” bersama tersebut diharapkan dapat lebih optimal. Konsep perpolisian masyarakat sudah terbukti mampu meningkatkan citra polisi sekaligus menekan angka kejahatan, sejatinya harus terus dikembangkan.